Impor Beras dan Mimpi Buruk Kaum Tani
(Refleksi Peringatan Hari Tani Nasional ke 46)
Oleh : Oki Hajiansyah Wahab S.Ip
(Komite Pendidikan
Pada era Orde Baru, yaitu sekitar tahun 1960-an hingga awal 1990-an
Namun dampak dari revolusi hijau ternyata membuat ketergantungan pada input pertanian modern yang dianjurkannya. Kejadian ini persis terjadi hingga saat ini, pada proyeksi pertanian
Yang tidak berlangsung hingga hari ini adalah subsidi dan bantuan pemerintah yang diberikan kepada sektor pertanian. Tercatat pada era Orde Baru ini, 725 juta dollar AS (sekitar 7,25 trilyun rupiah) dialokasikan untuk membantu sektor pertanian. Kini setelah liberalisasi perdagangan diterapkan, sektor pertanian pun diserahkan oleh pemerintah kepada pasar, dan subsidi dihilangkan.
Hal inilah yang membuat petani semakin merana. Setelah subsidi dikurangi, WTO terus menekan pemerintah
Pembukaan pasar domestik oleh WTO dengan gampang diwakili oleh kebijakan pemerintah membuka keran impor, terutama impor beras.
Politik Impor Beras
Dalam kasus pertanian umumnya beras, lembaga-lembaga internasional selalu menyalahkan pemerintah
Lalu dengan dibukanya keran impor beras, pemerintah
Era liberalisasi perdagangan juga berdampak sangat buruk bagi petani beras. Dengan diberlakukannya AoA WTO dan impor beras, produksi beras di
Walaupun terlihat menguntungkan bagi konsumen miskin, impor beras yang membuat harga beras murah ternyata memusnahkan subsidi bagi input pertanian dan perlindungan lain di sektor pertanian. Hal ini berarti biaya produksi bagi petani padi semakin membengkak, dan menyengsarakan mereka. Dengan membengkaknya biaya produksi, maka upaya untuk mempertahankan produksi padi juga semakin menurun, akibatnya jumlah padi yang dihasilkan juga semakin sedikit.
Mimpi Buruk Kaum Tani
Bulan September, bagi petani padi merupakan masa panen kedua, dengan harapan hasil panen kali ini akan memperoleh hasil yang lebih baik secara finansial. Mengingat bahwa pada saat pananaman, beban dari biaya produksi yang meliputi biaya pengolahan lahan, pengadaan benih, obat-obatan, biaya penanaman padi serta biaya saat panen, sebagian besar bahkan seringkali seluruh biaya tersebut berasal dari pinjaman. Yang menurut kebiasan petani pula, sejumlah biaya yang berupa hutang tersebut harus dibayar pada saat musim panen tiba. Harapan ini semakin kuat, ketika beberapa wilayah menunjukkan hasil produksi musim panen II mengalami peningkatan, semisal beberapa petani menyatakan bahwa setiap 7000 meter persegi lahan yang ditanami padi bisa menghasilkan sejumlah 4 ton gabah kering panen (GKP). Hasil yang bisa diperoleh tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan musim panen sebelumnya, yang tidak akan bisa memperoleh angka tersebut. Bila harga, mengalami kenaikan maka bisa dipastikan bahwa hasil yang bisa diperoleh juga akan meningkat. Namun, di sejumlah wilayah harga gabah kering panen mengalami penurunan hingga Rp. 1700, bahkan ada yang lebih rendah dari harga tersebut, yaitu sebesar Rp. 1500 per kilogram gabah kering panen. Sebab pertama atas penurunan harga ini, dikarenakan musim panen II yang waktunya berlangsung bersamaan di sejumlah wilayah, sehingga memungkinkan para spekulan pedagang beras memainkan harga di pasaran, selain itu, juga tidak adanya perlindungan pemerintah dalam bentuk penetapan kenaikan harga dasar gabah kering panen dan gabah kering giling. Bulog yang merupakan satu institusi yang paling bertanggungjawab atas pembelian gabah/ beras dari petani tidak menjalankan fungsinya secara baik.
Ditengah situasi yang demikian, kaum tani yang memproduksi padi, dihadapkan pada rencana pemerintah untuk melakukan kembali impor beras dengan berbagai alasan yang sepenuhnya tidak masuk akal. Dimana, pemerintah baru-baru ini telah menyetujui impor beras sebesar 210.000 ton dari negara lain. Dalam pernyataannya, Bulog menyampaikan bahwa impor beras ini akan digunakan untuk menambah cadangan beras pemerintah di Bulog yang masih mengalami kekurangan sebesar 350.000 ton akibat tersedot untuk bantuan bencana dan operasi pasar. Mengenai asal negara tidak akan dipermasalahkan, dengan kata lain Bulog tidak akan membatasi negara asal impor beras. Dikarenakan Bulog akan menentukan pemasoknya melalui proses tender. Sementara dasar penentuan kualitas beras impor akan mengacu pada Inpres No 13 Th 2005 tentang Kebijakan Perberasan. “dasarnya bukan asal daerah”. Dalam Inpres ini, disebutkan bahwa beras yang di beli Bulog harus memiliki butir patah maksimal 20%, kotoran (diluar beras) maksimal 0,02%, dan kadar air maksimal 14% serta campuran beras lain dipatok maksimal 5%. Sedangkan, anggaran untuk impor beras, menurut Deputi Menteri koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krismamurti, berasal dari APBN Perubahan 2006 sebesar 390 miliar rupiah.
Meski mendapat reaksi penolakan dari beberapa daerah atas rencana impor beras tersebut, pemerintah tetap teguh pada niatnya melakukan impor beras dan menyatakan secara membabi buta bahwa, walaupun Indonesia telah bisa swasembada beras, tetap saja Indonesia perlu mengimpor beras. Hal ini ditujukan untuk menjamin stok beras dalam negeri, menstabilkan harga dan demi politik perdagangan internasional.
Sementara itu, beberapa daerah yang menyatakan penolakannya terhadap masuknya impor beras ke daerahnya bukanlah sekedar penolakan dalam retorika semata. Beberapa daerah tersebut kenyataannya mengalami surplus produksi beras, sehinggga tidak perlu mengimpor beras. Dari produksi beras yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan daerahnya bahkan mengalami kelebihan sehinggga bisa mengamankan cadangan beras untuk beberapa bulan kedepan hingga musim panen berikutnya. Daerah-daerah tersebut, misal saja dapat disebutkan, diantaranya Sumatera Utara. Berdasar data dinas pertanian Sumatera Utara surplus beras lebih dari 400.000 ton; kabupaten Batang menyatakan surplus berasnya lebih dari 20.000 ton. Begitu juga dengan beberapa daerah lain. Sehingga alasan pemerintah pusat bahwa impor beras diperlukan karena stok beras nasional mengalami kekurangan akibat tersedot bantuan bencana alam dan operasi pasar, sesungguhnya merupakan alasan yang tidak masuk akal. Karena sejumlah kebutuhan tersebut sebenarnya mampu disediakan sendiri dari produksi beras nasional. Sedangkan untuk harga beras dan harga gabah petani, seharusnya pemerintah menetapkan dan mengontrol harga dasar gabah. Dengan demikian, kaum tani terutama yang memproduksi padi/beras akan mendapat perlindungan dari situasi tersebut.
Dengan demikian, sudah pasti bahwa tingkat kesejahteraan kaum tani dan keluarganya akan menurun secara hebat. Selain itu, kebijakan tersebut juga menunjukkan bagaimana sesungguhnya watak pemerintahan SBY-JK secara umum. Pemerintahan SBY-JK senyatanya lebih mengedepankan kepentingan kaum pedagang spekulan yang selama ini memonopoli perdagangan yang jelas-jelas merugikan dan menyulitkan kehidupan kaum tani dan rakyat
Berbagai alasan yang dikemukan untuk memperkuat rencana impor beras, senyatanya bukanlah jawaban yang mampu memecahkan secara mendasar atas problem-problem kaum tani
Oleh karenanya, jawaban yang mendesak untuk mengatasi ancaman kekurangan kebutuhan sekaligus menyediakan cadangan bahan pangan/beras nasional bukan dengan kebijakan impor beras. Namun, yang dibutuhkan bagi nagara ini adalah melakukan penataan ulang struktur penguasaan, kepemilikan, pemanfaatan dan peruntukan atas sumber-sumber agraria yang ada. Yang selanjutnya penataan ulang tersebut akan menjadi fondasi bagi pembangunan industri nasional yang kokoh serta bagi pengaturan sistem perdagangan nasional dan internasional yang mengabdi pada orientasi kepentingan atau kebutuhan nasional. Keseluruhan upaya yang sistematis tersebut diatas inilah yang dimaksud dengan agenda Reforma Agraria. Satu agenda nasional yang mendesak serta memerlukan usaha besar dan sungguh-sungguh dari seluruh rakyat
1 komentar:
wah lumanayan tulisanana mah bisa dibaca kusararea. ngomong2 gimana buat blog teh/ BEJAAN ATUH. smoga sukses terus mendidik massa rakyat dalam sebuah org tani yang perfect
Posting Komentar