Senin, 03 Maret 2008

Konflik Agraria dan Amuk Massa

Konflik Agraria dan Amuk Massa

Oleh: Juniardi dan Oki Hajiansyah Wahab

( Mahasiswa Program Magister Hukum UNILA)

Dewasa ini sengketa tanah di Lampung menjadi momok yang menakutkan semua pihak, entah itu warga biasa, pemerintah, maupun pemilik modal atau dunia usaha. Konflik agraria berkembang ke arah yang semakin mengkhawatirkan, sengketa tanah semakin menggurita, kompleks, menahun, dan tak pernah jernih dan tuntas.

Peristiwa amuk massa petani plasma PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL) di Way Kanan beberapa hari lalu menjadi bukti bahwasannya perlahan tapi pasti konflik-konflik agraria yang tidak kunjung terselesaikan hanya akan menjadi "bom waktu" yang siap meledak setiap saat. Situasi ini ditambah runyam ketika tidak adanya kepastian penyelesaian dari pemerintah daerah dan pusat.

Amuk massa yang dilakukan oleh para petani plasma merupakan ekspresi kekecewaan atas berlarut-larutnya penyelesaian konflik yang mereka hadapi. Terlihat bahwasannya tanah tidak dapat dipisahkan dari petani atau warga pedesaan. Setiap usaha memisahkan tanah dari pemiliknya, cepat atau lambat akan menimbulkan pergolakan.

Amuk massa yang dipicu kekecewaan petani plasma pada pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Karya Makmur yang dianggap tidak transparan mengelola usaha koperasi. Sebelumnya juga kekecewaan massa atas putusan Pengadilan Negeri (PN) yang mengalahkan gugatan patani plsama terhadap PT BNIL yang menuntut koperasi membayar sewa tanah dan pengembalian sertifikat diduga sebagai pemicu terjadinnya amuk massa.

Pola-pola “kemitraan inti plasma” belakangan sering menjadi persoalan yang memicu konflik. Kemitraan yang awalnya dikampanyekan akan mengentaskan kemiskian pada pelaksanaanya justru memiskinkan rakyat, para petani plasma justru terjebak hutang tak berkesudahan Sejak tahun 1996 , sekitar 2000 petani dari 11 desa di kabupaten Way Kanan yang memiliki lahan 4.000 hektare ini, sepakat membangun kemitraan dengan PT BNIL untuk perkebunan kelapa sawit. Sertifikat lahan petani kemudian diagunkan pada Bank oleh perusahaan.

Dalam perjanjian awal disepakati bahwa pola kerjasama dan pengolahan sawit dengan pola bagi hasil yang diperoleh dari perkebunan Sawit dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Perkebunan dan pengolahan dilaksanakan dan diserahkan kepada petani, sedangkan pupuk dan materi tambahan lainnya menjadi tanggungan perusahaan. Setelah kebun menghasilkan Buah Kelapa Sawit hasilnya akan dibeli dan diolah menjadi minyak sawit mentah (CPO). Hasilnya 70 % akan menjadi hak petani dan sisanya 30% akan digunakan untuk membayar angsuran perusahaan pada bank.

Tidak transparannya pihak perusahaan dalam pengelolaan kerjasama kemitraan justru menyebabkan petani sebagai plasma terus menjadi korban. Petani plasma yanag hanya menerima Rp85/kg dari penjualan tandan buah segar (TBS), itupun diserahkan diserahkan per tiga bulan. Rata-rata plasma menerima bagian sebesar Rp50 ribu/hektare per triwulan. Situasi tersebut tentunnya akan jauh berbeda jika petani menggarap sendiri tanahnnya.

Perusahaan inti yang diharapkan membina petani plasma, justru memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya untuk menciptakan struktur pasar monopsonis. Inti menjadi penentu harga untuk produk-produk yang dihasilkan petani plasma, sedangkan para petani plasma hanya menjadi penerima harga karena kemampuan dan daya tawar yang rendah.

Kekuatan dan privilege perusahaan inti sendiri sebenarnya atas bantuan dan fasilitas tertentu yang diberikan birokrasi pemerintahan. Menariknya, pola inti-plasma ini juga sangat digemari oleh birokrasi, politisi dan tentunya perusahaan swasta, karena di samping secara ekonomis fisibel, menguntungkan, dan mudah dilaksanakan, juga secara politis justifiable karena seakan-akan telah mengembangkan pola kemitraan yang baik.

Berbagai usaha dan perjuangan pengambilalihan kembali lahan milik petani yang dikuasai PT. BNIL perkebunan justru menimbulkan teror, intimidasi dan kekerasan terhadap kaum tani . Tidak jarang juga berbagai tindak kekerasan tersebut dilakukan oleh oknum-oknum aparat. Situasi ini menguatkan dugaan yang mengindikasikan adanya keberpihakan oknum-oknum aparat pada pihak tertentu dalam penyelesaian konflik.

Kerja sama politik yang cukup rapi antara pemburu rente dan perumus kebijakan, ditambah oleh gejala penyalahgunaan wewenang dan jabatan oleh para birokrat dan politisi itu sendiri telah membelokkan tujuan awal yakni untuk memajukan sektor pertanian. Akibat berikutnya adalah petani tetap menjadi korban. Situasi inilah kurang-lebihnya apa yang membuat orang gampang mengamuk dan melampiaskannya lewat amuk massa.

Amuk massa sendiri merupakan gejala anomie (anomi) dalam konsep sosiologis Emile Durkheim. Anomi menunjukkan gejala masyarakat yang kehilangan norma-norma sosial yang disepakati bersama. Anomi dapat mewujud dalam bentuk hilangnya konsensus dan solidaritas sosial sehingga timbul disorganisasi sosial berupa lemah dan runtuhnya struktur dan kultur yang selama ini dianggap mapan.

Tanah dan Tani

Salah satu hal terpenting dalam kehidupan petani adalah akses terhadap tanah sebagai sumber penghidupan. Rakyat khususnya petani membutuhkan tanah-tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lainnya pada umumnya memerlukan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan usaha ekonomi dalam skala besar.

Lampung sendiri merupakan provinsi dengan kepadatan agraris yang tinggi, yakni sekitar 386 jiwa hingga 400 jiwa per kilometer persegi. Artinya, setiap petani di Lampung kini terbilang petani gurem karena memiliki lahan hanya seluas rata-rata antara 0,25-0,30 hektar, dan bahkan mengecil. Ironis memang Lampung yang terlihat kosong, tetapi setiap jengkal tanah itu sebenarnya sudah dikapling para pengusaha besar.

Akumulasi dan monopoli penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya telah menciptakan ketimpangan yang sangat serius yang pada gilirannya telah mendorong konflik-konflik agraria, kondisi ketidakadilan sosial dan juga menciptakan kemiskinan massal. Karakteristik konflik atau sengketa tanah di Lampung sendiri semenjak pada periode 1980-an merupakan konflik antarsektor, dengan dominasi masalah terletak antar sektor pertanian dan industri.

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Lampung menyebutkan bahwa jumlah sengketa tanah di seluruh wilayah Lampung tahun 2006-2007 sebanyak 75 kasus. Sementara di Lampung sendiri menurut BPN masih terdapat 82 kasus dan konflik tanah yang belum terselesaikan. Sementara penelitian yang dilakukan Oleh Dewan Rakyat Lampung (DRL) menunjukan bahwa di Lampung sekurang-kurangnya telah terjadi 92 kasus sengketa tanah seluas 437.002,52 hektare.

Akibat konflik tersebut 134.750 Kepala Keluarga (KK) petani tidak mempunyai tempat tinggal dan harus hidup secara berpindah-pindah atau nomaden.

Dari tahun ketahun, ketimpangan struktur agraria akibat monopoli atas sumber-sumber agraria telah menyebabkan kemerosotan dan keterbelakangan kehidupan kaum tani Indonesia di semua aspek, mulai dari aspek sosial-ekonomi, politik dan budaya. Siswono Yudo Husodo menyatakan, bahwa selama puluhan tahun telah terjadi proses penyempitan tanah pertanian petani seiring dengan lepasnya penguasaan/ pemilikan tanahnya lewat berbagai cara yang mendorong pada proses pemiskinan petani.

Lemahnya komitmen pemerintah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan petani khususnya petani plasma membuat konflik semakin berlarut-larut. Dalam situasi ini tentunya rakyat merasa ada semacam diskriminasi hukum. Untuk mengatasi hal ini pemerintah sudah seharusnya mengayomi rakyat, melayani rakyat, dan berbuat sesuatu untuk rakyat. Negara dibentuk di antaranya adalah dalam rangka menciptakan kesejahteraan rakyat. Sudah selayaknya negara seharusnya justru menciptakan tatanan hukum yang progresif, yang mampu melindungi rakyatnya.

1 komentar:

Owen mengatakan...

salam kenal,
Gw Erwin Unila FE 2004
gw tertarik ma artikelnya.
kapan-kapan bisa kita diskusi...???
jgn salah sangka ya...
gw mang pener-bener niat mw diskusi...
lets change our province
thx be4

owen_hargreavest@yahoo.com