Senin, 03 Maret 2008

Di Balik Rencana Amandemen UUPA 1960?

Di Balik Rencana Amandemen UUPA 1960?

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab (Aktif di YABIMA)

Hingga tahun kedua masa pemerintahannya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) belum mampu memenuhi janji-janjinya untuk menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan demokrasi bagi rakyat Indonesia. Sebut saja kebijakan-kebijakan yang diterbitkan SBY-JK dalam tahun pertama pemerintahannya —misalnya dua kali kenaikan harga BBM dalam waktu kurang dari setahun dan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang “Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum”— bukannya kemakmuran yang diciptakan, namun sebaliknya satu kemerosotan dan kesengsaraan yang justru diperluas.

Tak ayal, situasi yang diciptakan SBY-JK justru bertolak-belakang dengan seluruh janji-baik yang dinyatakan ke seluruh negeri pada saat kampanye. Nyatanya, SBY-JK tidak bisa berkelit dan harus mengakui bahwa kinerja pemerintahannya tidak maksimal.. Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri bila kebijakan politiknya dengan menaikkan harga BBM dua kali dalam setahun telah menjadi kebijakan yang menyebabkan meroketnya angka inflasi sampai lebih dari 17 persen. Inflasi tahunan Maret 2006 terhadap Maret 2005 mencapai 15,74%. Sementara dalam tahun APBN 2006 ditetapkan berkisar 8%. Demikian juga dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan, ternyata juga tidak berhasil diraih. Dimana, pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2006 hanya berkisar 4,35%. Sementara, dalam APBN tahun 2006 ditargetkan 6,2% pada akhir tahun. Juga merupakan fakta bila kegagalan-kegagalan dalam pemerintahan SBY-JK telah mendongkrak naiknya jumlah pengangguran seantero negeri. Sampai dengan akhir tahun 2005, pengangguran terbuka mencapai 10,8 juta orang. Angka ini bila ditambah dengan pengangguran yang kategorinya pekerja informal dan yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu bisa mencapai tidak kurang dari 105 juta orang. Selanjutnya, asumsi setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan mampu menyerap tenaga kerja baru sekitar 300-500 ribu, ternyata hanya sebuah obsesi belaka. Faktanya dengan penambahan hampir 2 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya, pemerintahan SBY-JK tidak mampu memecahkan problematik pengangguran yang kian hari semakin bertambah luas ini.

Di tengah menipisnya kepercayaan Rakyat, Pemerintahan SBY-JK menyelipkan draft amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal sebagai UUPA 1960. Sebagai suatu kebijakan dan tindakan politik, draft ini tidak bisa dilihat sebagai gejala yang netral-tanpa kepentingan. Draft amandemen ini tentunya terkait erat dengan mainstream kebijakan politik SBY-JK yang masih saja ngotot berharap mampu menarik hati para investor asing. Amandemen atas UUPA 1960 adalah salah satu usaha politik dari pemerintahan SBY-JK untuk mengeluarkan pasal-pasal krusial yang saat ini didakwa sebagai biang dari seretnya investasi. Berkali-kali, administratur SBY-JK—khususnya dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN)—menyatakan bahwa amandemen ini dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum sekaligus sebagai jaminan ‘guna mendukung investasi’. Pemerintah juga tengah menyiapkan 11 Peraturan Pemerintah (PP) dan 3 Keppres dalam KTT Infrastruktur (Kompas (14/01/2005). Masalah ketentuan atas tanah, khususnya ketentuan hukum mengenai pengadaan (pembebasan) tanah yang efisien, menjadi salah satu aspek yang hendak dikedepankan. Lebih lanjut, melalui upaya amandemen UUPA tersebut akan mendorong tercapainya tujuan besar dengan apa yang disebut sebagai pasar tanah yang wajar/adil (equitable land market) serta pasar tanah yang terbuka dan bebas (free land market).

Tindakan SBY-JK yang lebih memilih jalan ‘amandemen’—bukan menyusun rancangan Undang-Undang sebagaimana yang coba ditempuh pemerintahan Megawati-Hamzah—adalah tindakan yang disengaja untuk meminimalisasi ketegangan politik yang sudah pasti akan merugikan kekuasaannya. Pengalaman sebelumnya yang mendapati protes luas dari rakyat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum masih belum hilang dari ingatan. Perpres yang awalnya menjadi komoditi yang hendak dipromosikan kepada para investor pasca pelaksanaan Infrastructure Summit 2005 nyatanya tidak cukup kuat untuk meyakinkan para investor yang teramat kental dengan semboyan “wait and see’. Hanya sebagian kecil investor yang memberanikan diri untuk merealisasikan komitmen investasinya di sektor infrastruktur.

Komentar pakar Hukum Agraria Gunawan Wiradi dalam Tanggapan atas RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)” yang disampaikan dalam konsultasi publik Penyempurnaan/Amandemen Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 menyatakan bahwa secara esensi “penyempurnaan UUPA ini lebih banyak menekankan pada aspek (hak) pengelolaan atas sumber-sumber agraria, namun bukan pada reforma agrarianya. Makna dari kritik di atas sebenarnya bisa dipahami dengan mempertanyakan “mengapa pemerintah tidak menekankan aspek reforma agraria terlebih dulu, setelah itu baru membicarakan masalah hak (lebih tepat, kewajiban) negara untuk mengelola sumber-sumber agraria?” Melalui kalimat tersebut—yang sepintas seolah hanya mengubah diksi dalam kalimat—namun secara esensi terdapat suatu penekanan yang berbeda. Penekanan yang lebih mementingkan pentingnya law-enforcement dan hak negara dalam mengelola sumber-sumber agraria mengandung potensi yang bisa bertentangan dengan reforma agraria.

Indikasi ini semakin kuat manakala kita mengaitkan rencana amandemen atas UUPA 1960 dengan kebijakan Land Management Policy and Development Project (LMPDP). Kebijakan ini merupakan kelanjutan kerjasama antara pemerintah RI dengan Bank Dunia yang telah dirintis sejak Land Administration Project (LAP) Tahap I sejak 1994 atau tepatnya dari tahun 1995 hingga tahun 1999. Setelah berakhirnya LAP I kemudian dilanjutkan dengan LAP II yang rencananya akan dilaksanakan mulai Tahun 2000. Akibat adanya kemoloran waktu pelaksanaan dan juga akibat situasi politik dalam negeri, dimana pada saat itu pemerintahan yang ada mendapat tekanan agar mengurangi bahkan menghentikan utang baru, maka LAP II yang pada dasarnya merupakan proyek persiapan LMPDP baru bisa dilaksanakan dari tahun 2001 hingga 2004. Sementara, proyek LMPDP sendiri direncanakan akan dilaksanakan dari 2004 hingga 2009. Melalui proyek yang didanai oleh Bank Dunia (World Bank) dan menghabiskan dana pinjaman sekitar 65,6 juta dolar AS ini, pemerintah Indonesia menyepakati satu konsepsi Bank Dunia yang hendak menciptakan market led land-reform di Indonesia. Secara umum maksud dari proyek LMPDP adalah hendak mendukung program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan mempromosikan kegunaan penuh dari tanah secara berkelanjutan. Tujuan tersebut pada dasarnya juga merupakan kelanjutan dari Proyek LAP I yang mendasarkan pada sejumlah argumen bahwa peningkatan keamanan tanah (land tenure security) akan mengurangi konflik, mendorong peningkatan investasi, dan meningkatkan pinjaman (kredit) melalui sertifikat tanah sebagai agunan.

Dengan demikian, secara keseluruhan argumentasi yang hendak dikemukakan melalui berbagai proyek LAP I, LAP II dan LMPDP adalah bahwa UUPA No 5 Tahun 1960 sudah ”usang” dan harus di amandemen (revisi). Karena dalam konsideran ataupun sejumlah besar pasal dalam batang tubuhnya dari UUPA menghambat bagi investasi kapitalisme monopoli internasional di sektor agraria. Inilah maksud sesungguhnya dari rencana amandemen (revisi) UUPA yang ditargetkan selesai pertengahan tahun ini. Satu maksud yang hendak mengubah fungsi sosial sekaligus fungsi dari sumber-sumber agraria (tanah) menjadi sekedar ”komoditi” dengan menerapkan konsepsi “free land market”. Sebuah konsepsi yang menekankan pentingnya pasar tanah yang terbuka dan bebas. Dampaknya sudah dapat dipastikan yakni ketimpangan pada struktur penguasaan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria akan semakin tinggi.

Tujuan amandemen (revisi) UUPA akan semakin terang bila kemudian dikaitkan dengan satu kebijakan yang baru saja diterbitkan oleh Pemerintahan SBY-JK baru-baru ini, yaitu dikeluarkannya Instruksi Presiden No 3 Tahun 2006 yang ditandatangani akhir Februari 2006. Melalui Inpres tersebut pemerintah menetapkan serangkaian paket kebijakan dalam kerangka perbaikan dan peningkatan iklim investasi. Paket kebijakan yang komprehensif ini paling tidak memiliki tumpuan pada beberapa pilar utama, yaitu pertama paket kebijakan untuk menggerakkan pembangunan infrastruktur dan investasi pada umumnya. Kedua, paket kebijakan untuk memperbaiki sistem kepabeanan, perpajakan, perizinan investasi dan berbagai prosedur birokrasi guna mempercepat proyek-proyek besar yang tertunda.

Pertahankan UUPA Tahun 1960 Sebagai payung Hukum Agraria

Sejak ditetapkan pada tanggal 24 September 1960, UUPA bermaksud untuk mengatasi dualisme hukum yang masih berlaku berkaitan dengan pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia, yaitu hukum barat warisan Belanda Agrarisch Wet 1870 dan hukum adat. Dengan demikian, UUPA 1960 merupakan hukum nasional yang baru yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru di lapangan agraria dan ditujukan pada pencapaian tatanan agraria yang adil. Terutama pentingnya perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani miskin). Namun demikian, UUPA 1960 yang memberi legitimasi secara formal terhadap pelaksanaan Reforma Agraria dan terlebih pelaksanaan Land Reform di Indonesia, sejauh ini tidak bisa disimpulkan bahwa UUPA 1960 telah dijalankan.

Meski upaya untuk melaksanakan UUPA 1960 dengan dijalankannya program Land Reform secara terbatas pada era Pemerintahan Soekarno, yaitu dari tahun 1962-1964, telah dilakukan. Namun, sejak lahirnya Orde Baru hingga saat ini, UUPA 1960 hanya ditempatkan sebagai produk hukum semata. Pembangunan pertanian tidak menyandarkan pada pentingnya pelaksanaan reforma agraria yang sejati terlebih dahulu. Kebijakan pembangunan pertanian dan pada sektor agraria lainya sepenuhnya diorientasikan pada target pertumbuhan dan produktivitas pertanian. Revolusi Hijau di masa pemerintahan Soeharto dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kelautan dan Kehutanan pada masa pemerintahan SBY-JK saat ini, justru semakin menciptakan tingginya ketimpangan struktur penguasaan dan monopoli kepemilikan atas sumber-sumber agraria.

Dari tahun ketahun, ketimpangan struktur agraria dengan adanya monopoli atas sumber-ssumber agraria semakin hebat. Jumlah pemegang konsensi dalam bentuk Hak Guna Usaha (HPU) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) ataupun konsensi untuk pertambangan semakin intensif dan masif. Secara aktual, proses pemberian konsensi tersebut telah banyak meminggirkan bahkan mengambil tanah-tanah rakyat baik tanah garapan (land grabbing) maupun terhadap areal pemukiman. Bahkan, data yang mampu dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) hingga tahun 2001, berjumlah sekitar 1.753 kasus sengketa agraria yang melibatkan rakyat, instansi pemerintah (termasuk militer) dan instansi swasta (perkebunan dan kehutanan).

Selain itu, alih fungsi lahan juga merupakan gejala yang meluas dan tinggi intensitasnya. Penyusutan lahan tersebut terjadi akibat alih fungsi lahan dari areal sawah ke pemanfaatan untuk bangunan, akomodasi pariwisata, ruko dan lain sebagainya. Oleh karenanya alih fungsi lahan yang demikian juga akan berdampak pada tingkat produktivitas bahan pangan (beras) dan selanjutnya akan mengancam ketahanan pangan secara nasional. Jumlah ini akan semakin bertambah luas bila dihitung dengan apa yang terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Dari data BPS dalam waktu 10 tahun terakhir telah terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 80.000 ha per tahun. Selama periode 1999-2002 telah terjadi pengurangan lahan sawah seluas 563.159 hektar, atau rata-rata 187.720 hektar per tahun. Sementara, akibat monopoli penguasaan atas sumber-sumber agraia dengan tidak adanya upaya untuk menjalankan Reforma Agraria yang Sejati, jumlah petani miskin dan buruh tani juga semakin bertambah. Hasil Sensus Pertanian 2003 yang disampaikan oleh Direktur Statistik Pertanian BPS,. menunjukkan semakin miskinnya petani Indonesia. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah petani gurem tahun 2003 menjadi 56,5%. Rumah tangga pertanian naik dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta tahun 2003. Selanjutnya, selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6% per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003.

Dari keadaan yang terpaparkan tersebut, semakin menjelaskan bahwa krisis agraria di Indonesia, meningkat semakin tajam, luas dan dalam, baik ditinjau dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Kemerosotan dan keterbelakangan kehidupan kaum tani Indonesia di semua aspek, mulai dari aspek sosial-ekonomi, politik hingga budaya merupakan kejadian yang tak tertahankan dan memerihkan hati. Oleh karenanya, hanya dengan menjalankan Reforma Agraria Sejati, yaitu dengan konsekuen mempertahankan sekaligus melaksanakan UUPA tahun 1960 dan menyelesaikan sejumlah sengketa agraria, kehidupan kaum tani dapat dimajukan dan ditingkatkan.

1 komentar:

Bagas mengatakan...

UUPA 60 merupakan produk rezim ordelama yang cukup populis dimata rakyat (kaum tani) tapi lantaran UUPA 60 juga perampasan tanah secra besar-besaran di negri ini terjadi karena dalam satu pasalnya mengutur tentang HGU.

jadi ketika hari ini akan ada rencana amandemen terhadap UUPA 60 itusudahpasti akan menambah penderitaan rakyat karena pssti akan memperhebat perampasan tanah secara besar-besaran.

jadi menurut saya tidak terlalu penting soaal amandemennya dari UUPA60 tapi yang lebih penting adalah bangun organisasi rakyat yang kuat dan militan supay rakyat bisa menjalankan reforma agraria yang sesui dengan keinginan rakyat itu sendiri