Senin, 03 Maret 2008

Potret Suram Buruh Migran

Potret Suram Buruh Migran

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab

(Asociate Researcher Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong )

Beberapa minggu terkahir media massa menyuguhkan kita kisah-kisah menyedihkan yang dialami para Buruh Migran Indonesia (BMI) di luar negeri. Cerita buruh migran di media massa hampir selalu berisi kabar duka. Kita kerap disuguhi cerita-cerita tragis buruh migran meliputi penganiayaan, pemerkosaan, hingga tidak dicukupi hak-hak dasarnya. Terkahir kasus meninggalnya seorang TKW asal Lampung di Malaysia, percobaaan pemberangkatan anak dibawah umur untuk dijadikan calon tenaga kerja di Malaysia dan tewasnya seorang TKI yang ditembak polisi di Malaysia.

Tahun 2006, 300-an buruh migran meninggal dunia di luar negeri, tetapi media tidak banyak mempersoalkan kematian yang tinggi ini. Hal itu karena tidak semua kasus kematian diketahui media. Tahun 2007 LSM Migrant Care mencatat 120-an buruh migran yang meninggal, sementara media di tanah air hanya melaporkan 30 kasus kematian (Sri Palupi, Kompas, 4/9/07). Data Satgas Perlindungan dan Pelayanan WNI KBRI Kuala Lumpur menyatakan setiap tahunnya lebih dari seribu BMI di Malaysia mencari perlindungan ke KBRI di Kuala Lumpur akibat ditelantarkan majikannya. Itu baru di Malaysia saja belum dinegara-negara lainnya yang juga terdapat banyak buruh migran asal Indonesia.

Kemiskinan

Desa-desa di Indonesia tak terkecuali di Lampung menjadi kantong utama kemiskinan. Laporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Desa kini tak lebih adalah penghasil perempuan dan anak buruh migran sektor informal, anak yang dilacurkan, korban trafficking, busung lapar, dan sebagainya. Di Propinsi Lampung sendiri menurut versi pemerintah terdapat 985 desa tertinggal atau 34 % dari total jumlah desa yang ada.

Data BPS Propinsi Lampung menyatakan bahwasanya jumlah penduduk Provinsi Lampung yang hidup di bawah garis kemiskinan sampai dengan Bulan Maret 2007 mencapai 1.660.700 jiwa atau 22,19 persen. Selanjutnya juga disebutkan bahwa 77,96 persen penduduk miskin berada di pedesaan. Lampung kini menjadi provinsi termiskin kedua di Sumatera atau provinsi termiskin kesembilan dari 33 provinsi .

Secara umum buruh migran Indonesia berasal dari keluarga petani, sulitnya mendapat pekerjaan yang layak di perkotaan dan mahalnya biaya pendidikan, membuat pemuda-pemudi bahakan anak-anak desa dibawah umur tergiur bujuk rayu untuk menjadi BMI. Harapannya tidak lain, selain hendak mengangkat tingkat kehidupan dirinya dan keluarganya. Persoalannya adalah bahwa seringkali pola pengiriman diikuti berbagai penipuan, manipulasi data oleh oknum-oknum PJTKI. Tidak jarang anak-anak dibawah umur yang semestinnya masih mengenyam pendidikan juga ikut menjadi korban eksploitasi.

Alasan ekonomi menjadi motif utama seseorang mengadu nasib ke luar negeri, Menjadi TKI tentu saja bukanlah tanpa alasan. Memilih peluang hidup yang lebih baik, mengadu nasib karena sulitnya mendapatkan pekerjaan di Indonesia dengan pendapatan yang cukup merupakan alasan utama yang sering diungkapkan para TKI.

Akibat kemiskinan dan ketidakmampuan negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan berdampak pada melonjaknya angka migrasi warga Indonesia untuk bekerja ke luar negeri meningkat dengan tajam dalam sepuluh tahun terakhir. Data Depnakertrans RI menunjukkan selama 1999-2002 terdapat 1,355,694 orang yang bekerja di berbagai negara, 972,198 (71,1%) adalah perempuan dan 383,496 (28,1 %) laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang rendah mayoritas tidak lulus SD - jenis pekerjaan yang dapat diakses perempuan-perempuan ini adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Sapi Perahan

Soal lain yang juga harus dicermati dan juga menjadi akar masalah buruh migran adalah terintegrasikannya masalah buruh migran dalam kebijakan makro ekonomi sebagai komponen conditionality lembaga keuangan internasional. Seperti juga sektor ekonomi yang lain (pertanian, pertambangan, sumberdaya air), pada sektor penempatan buruh migran juga menjadi bagian dari persyaratan lembaga keuangan internasional (IMF dan World Bank). Setidaknya ini tercermin dalam dua dokumen penting yang sekarang ini menjadi acuan pokok kebijakan makro ekonomi Indonesia.

Dokumen pertama adalah, dokumen Post Program Monitoring IMF (Inpres No. 5/2003). Didalam dokumen ini, masalah penempatan buruh migran didorong untuk diintensifkan sebagai bagian dari mobilisasi devisa. Devisa yang masuk dari buruh migran diharapkan dapat memantapkan neraca pembayaran dan mendorong kecukupan devisa.

Dokumen kedua adalah Inpres No.3/2006 tentang Iklim Investasi. Instrumen ini adalah desakan World Bank sebagaimana yang disampaikan dalam 2 kali forum CGI (tahun 2005 dan 2006). Dalam masalah BMI, Pemerintah RI diharapkan merevisi UU No.39/2004 terutama untuk pasal-pasal yang dianggap menghambat iklim investasi penempatan buruh migran. Jelas sekali terlihat bahwa kondisi yang dipersyaratkan IMF dan World Bank adalah mobilisasi remitansi dan kelancaran investasi, dan tidak memperdulikan perlindungan buruh migran. Ini pula yang sekarang sedang giat dikampanyekan Menakertrans RI yang secara terang-terangan menargetkan perolehan remitansi dari buruh migran sebesar 186 trilyun rupiah pada tahun 2009.

Tampak jelas bahwasannya target perolehan devisa melalui remitansi dari buruh migran lebih menonjol dibandingkan dengan upaya serius untuk memberikan perlindungan bagi para BMI. Kondisi ini menempatkan BMI terkesan menjadi sapi perahan penghasil devisa bagi negara bagi pemerintah. Padahal, khususnya perempuan terbukti memberi kontribusi devisa yang sangat besar bagi negara ini. Menurut Depnakertrans RI, hingga semester I tahun 2006 ini saja remitansi buruh migran sudah mencapai 15 trilyun rupiah. Besarnya angka-angka ini terasa tidak sebanding dengan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada para BMI kita di luar negeri.

Rendahnya Komitmen

Hingga saat ini memang belum ada inovasi baru dari Depnakertrans RI dalam upaya perlindungan BMI. Depnakertrans RI lebih kreatif memproduksi aturan-aturan yang memberatkan TKI dengan pungutan-pungutan. Undang-Undang yang ada barulah sekedar mengatur tentang penempatan TKI/BMI seperti regulasi yang mengatur perlindungan terhadap BMI masih sangat minim. Sikap proaktif atau tanggung jawab langsung Negara juga baru tampak ketika kasus,-kasus yang menimpa para BMI telah menimbulkan korban dan menjadi konsumsi publik.

Dibentuknya Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang mulai beroperasi pada bulan Maret 2007 belum menjadi jawaban atas berbagas persoalan yang menimpa para buruh migran kita. Seperti yang diperkirakan banyak kalangan, badan ini lebih banyak mengurusi masalah penempatan BMI dan kurang memperhatikan aspek-aspek perlindungan terhadap BMI. Hal ini disebabkan karena badan ini memang dibentuk hanya untuk mengambil-alih proses penempatan BMI yang sebelumnya berada di tangan Depnakertrans. Selanjutnya, Depnakertrans hanya berperan sebagai regulator dan BNP2TKI yang menjadi operator.

Mobilisasi tenaga kerja keluar negeri seringkali diluar batas kemanusiaan dan di sinilah letak pokok masalahnya, yakni keterbatasan negara dalam menjawab kebutuhan utama rakyatnya: lapangan pekerjaan. Juga, keterbatasan pemerintah memfasilitasi mobilitas tenaga kerja di dalam negeri, sekaligus dalam menata sistem ‘distribusi’ dan ‘’perlindungan’’ TKI di luar negeri.

Ke depan kita berharap pemerintah tentunnya harus lebih proaktif dalam upaya mencegah tindak penganiayaan terhadap para TKI. Perlu langka-langkah atau mekanisme tertentu untuk menjalankannya misalnya membangun kerja sama lebih intensif antara KBRI, PPTKIS, LSM berhubungan dengan ketenagakerjaan, dan pihak terkait lainnya. Pemerintah juga harus membuktikan komitmenya terhadap BMI dengan menerbitkan Undang-Undang perlindungan bagi buruh Migran dan anggota Keluarganya dan membuat Bilateral Agreement yang melindungi BMI di luar negeri. Tanpa tindakan riil dan cepat serta antisipatif, kasus-kasus buruk yang menimpa BMI pastinnya akan terus terulang.







Tidak ada komentar: