Senin, 03 Maret 2008

Demokrasi Untuk Burma

Demokrasi Untuk Burma

Oleh: Oki Hajiansyah (Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Lampung)

Sepekan terakhir perhatian masyarakat dunia tertuju pada Burma (kini Myanmar) sebuah negara multi etnis berpenduduk 53 juta yang terletak di Asia Tenggara. Mayoritas populasi di Myanmar adalah orang Burma (sekitar 68%), sisanya terdiri dari etnik-etnik minoritas seperti etnis Shans, Karens, Rakhines, Tionghoa, India, Mons dan kelompok-kelompok etnis kecil lainnya.

Dalam tulisan ini saya lebih suka memakai nama Burma dibandingkan dengan Myanmar. Pada tahun 1989 Dewan Penguasa Militer menganti nama ”Republik Sosialis Persatuan Burma" menjadi Myanmar. Perubahan nama tersebut sengaja dilakukan oleh rezim militer Birma untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional kalau ada negara baru yang bernama Myanmar, dan sengaja menggusur sejarah demokrasi rakyat Birma. Beberapa negara di Uni Eropa dan Amerika Serikat, hingga kini tetap menyebut Myanmar sebagai Burma, sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat berikut kalangan pro demokrasi di Burma dan kritik terhadap tindakan otoriter Junta Militer.

Sejak tahun 1962 saat Jenderal Ne Win, melakukan kudeta militer dan merampas kekuasaan dari Perdana Menteri U Nu krisis politik yang tak kunjung henti-hentinnya terjadi di Burma. Terakhir krisis kembali terjadi dan pemicunnya adalah kebijakan pemerintahan junta militer yang menaikan harga BBM hampir 500 persen.Akibatnya harga gas naik 5 kali lipat, harga bensin dan diesel naik 2 kali lipat, tarif bis juga naik 2 kali lipat dari sebelumnya.

Kebijakan ini memicu gelombang aksi ratuan ribu massa yang dipimpin oleh mahasiswa pelajar , aktivis politik oposisi dan tak terkecuali para biksu di Burma. Para biksu Budhis yang biasanya lebih banyak berdoa dan melakukan meditasi justru memimpin aksi-aksi protes, pagoda-pagoda di Burma berubah menjadi pusat gerakan massa. Para biksu Budhis berubah menjadi barisan paling depan yang membongkar kezaliman rezim militer yang telah berlangsung selama 45 tahun. Perlawanan para biksu merupakan simbol betapa kearifan tidak lagi hidup dalam keseharian junta militer yang memerintah.Ironisnya gelombang aksi damai rakyat Burma justru dihadapi dengan kekerasan dan berbagai tindakan represif serta penangkapan yang dilakukan oleh para polisi dan tentara .

Gelombang protes ini dinilai sebagai sebuah babak baru dalam sejarah penentangan rakyat Burma terhadap junta militer yang telah menghancurkan demokrasi. Gelombang protes kali ini dinilai merupakan yang terbesar sejak demonstrasi prodemokrasi tahun 1988 yang ditindas secara brutal oleh rezim militer. Kini masalahnya bukan persoalan kenaikan harga BBM semata melainkan sudah tertuju pada penentangan langsung terhadap pemerintahan tangan Junta Militer.

Akar dari krisis politik di Burma sebenaranya bersumber pada keengganan pemerintahan junta militer pimpinan Jenderal Than Shwe untuk melakukan reformasi politik terkait dengan upaya penegakan HAM dan demokrasi di negara tersebut. Sejak junta militer berkuasa di Burma tahun 1962, tanda-tanda demokratisasi tak kunjung datang. Menurut perkiraan PBB, jumlah tahanan junta militer di Burma mencapai lebih dari 1.000 orang.

Pada tahun 1990 Burma sebenarnya pernah mengadakan pemilihan umum federal. Hukum Negara Militer dan Dewan Orde Pemulihan (the military State Law and Order Restoration Council-SLORC) mengizinkan pemilihan umum multipartai.Saat itu NLD (Partai Nasional Demokratik) yang dipimpin oleh Suu Kyi memenangkan pemilihan anggota parlemen dengan suara mutlak. NLD memperoleh suara 80% dari jumlah pemilih. Ironisnya hasil Pemilu tersebut tidak diakui oleh junta militer dan Suu Kyi pun ditahan oleh junta militer bersama dengan sejumlah tokoh oposisi dan pejuang hak asasi manusia lainnya.

Tragedi 888 (8 Agustus 1988) dan pembatalan Pemilu demokratis yang dimenangkan kelompok sipil NLD merupakan tonggak-tonggak matinnya demokrasi di Burma.

Sejak saat itu persoalan demokratisasi menjadi persoalan yang berulang-ulang menyulut krisis politik dinegara tersebut. Pemerintahan junta militer mengontrol dan melarang media massa yang acapkali mengkritik kebijakan pemerintah.

Suu Kyi kemudian memperoleh nobel perdamaian tahun 1991 atas semangatnya melakukan perlawananan politik dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi Sampai dengan sat ini Suu Kyi masih diangga oleh rakyat Burma sebagai inspirator dan simbol gerakan demokrasi yang menentang emerintahan junta militer.

Disisi lain akibat pemerintahan junta militer situasi kemiskinan tetap menyelimuti rakyat Burma. Burma sebanarnya adalah negara yang kaya dengan minyak dan gas tapi mayoritas rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Di bawah junta militer jumlah pengangguran mencapai 20 juta orang pada tahun tahun 2005. Hal ini tentunnya diperparah dengan tingkat inflasi yang terus membengkak dan menyeret rakyat Burma ke jurang kemiskinan yang dalam.

Beberapa pengamat mensinyalir bahwasanya tegaknya rezim junta militer di Burma juga akibat dari dukungan politik dan ekonomi dari Cina, Rusia dan India yang selalu membela tindakan rezim junta militer. Cina dan Rusia menggunakan hak vetonya untuk membatalkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang dimaksudkan untuk mendorong demokrasi di Burma pada awal tahun 2007 dengan alasan bahwa situasi di Burma adalah sepenuhnya masalah dalam negeri. Padahal jika diperikasa dengan seksama ternyata Cina emeiliki kepentingan yang cukup besar untuk meraih kontrol terhadap sumber daya alam di Burma.

Babak Baru Demokrasi

Burma adalah sebuah negeri penuh ironi dan paradoks, ketika seisi peradaban bumi bergerak menuju demokratisasi, Burma sebaliknya menjauhi kaidah-kaidah demokrasi. Persoalan besar di Burma saat ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dankehidupan demokrasi yang dilakukan junta militer. Sejak militer berkuasa praktis rakyat burma tidak bisa menikmati kebebasannya. Sembilan belas tahun lebih rakyat Burma berjuang melawan kekuasaan militer yang menggunakan kekerasan dan cara-cara tidak demokratis dalam merebut dan mempertahankan kuasa politiknya di Burma.

Persoalan Burma tidak harus dilihat sebagai masalah internal mereka, tetapi harus sudah dibawa sebagai masalah dunia internasional.Bahwa Perjuangan demokrasi merupakan syarat pokok bagi pergerakan demokrasi di Burma untuk membuka ruang politik yang lebih adil dan kemandirian di bidang ekonomi. Peta jalan demokrasi yang pernah diharapkan akan menjadi solusi damai di Burma ternyata makin jauh dari kenyataan.

Masyarakat dunia kini tengah menunggu sikap dunia internasional terhadap situasi di Burma yang kian terpuruk. Dalam konteks ini, ada tiga point penting yang semestinya menjadi fokus kekuatan politik internasional: 1) percepatan demokratisasi di Burma, 2) pembebasan tahanan politik sebagai langkah penegakan hak asasi manusia termasuk tekanan untuk membebaskan Aung San Suu Kyi, dan 3) meminta pertanggungjawaban pemerintahan junta militer atas tindakan politik sewenang-wenang mereka selama ini.

Pemerintah Indonesia juga sepantasnya sebagai anggota negara ASEAN dan Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses perdamaian di Burma dengan mendukung tekanan yang dilakukan lembaga internasional (PBB), serta mendorong ASEAN agar bersikap lebih tegas terhadap pemerintahan junta militer di Burma. Rakyat Burma hari ini tentunnya merindukan kebebasan politik dan demokrasi. Burma yang demokratis tentunnya bukan lagi sekedar impian.Inilah saatnya bagi Burma meninggalkan sistem totaliter dan memulai langkah menuju demokratisasi.

Tidak ada komentar: