Senin, 17 Maret 2008

Resensi Buku Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo

Judul : Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo

Penulis : Ali Azhar Akbar

Tebal : 252 hal, 15x 23 cm

Penerbit : Galang Press

Cetakan I : 2007



Keadilan Untuk Korban Lapindo!

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab (Peminat Buku)

Bencana besar Lumpur Lapindo yang telah berlangsung sejak tahun 2006 sampai saat ini masih terus melahirkan berbagai persoalan. Pemerintah seakan tak berdaya menyelesaikannya sehingga terkesan melakukan “pembiaran sistemik” sehingga menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang begitu besar. Ribuan korban di pengungsian sampai dengan hari ini masih terus menunggu kepastian nasib mereka.

Buku yang ditulis oleh Ali Azhar Akbar menyajikan sebuah analisis yang komperehensif yang tidak hanya bersifat teknis yakni asal mula semburan Lumpur panas Lapindo tapi juga sisi-sisi lain bisnis minyak dan peranan kekuasaan dalam bisnis tersebut. Buku ini menceritakan kisah para pemilik Lapindo dan relasinya dengan kekuasaan dalam rangka upaya membangun kerajaan bisnisnya.

Dalam kasus bencana semburan lumpur panas Sidoarjo, pemerintah SBY-Kalla berhadapan dengan dua masalah sekaligus. Pertama, menghentikan semburan lumpur panas dan menyalurkan atau membuang genangan lumpur. Kedua, menangani dampak sosial dan ekonomi, baik dalam memulihkan atau membangun kembali infrastruktur dan sarana umum yang rusak akibat luberan lumpur maupun dalam menangani masalah-masalah sosial yang didalamnya terdapat keharusan untuk memberikan kompensasi yang sepadan bagi warga yang terkena genangan. Kedua masalah itu tentunnya saling terkait dan sama-sama pelik.

Dari seluruh proses yang coba dilakukan pemerintah —khususnya terkait dengan masalah ganti rugi kepada warga—pemerintah justru menempatkan diri dalam posisi seolah-olah “netral”. Hal ini secara jelas terlihat dari posisi pemerintah dalam menangani sengketa antara PT Lapindo dengan warga empat desa maupun dengan warga perumtas I. Pemerintah tidak bertindak sebagai wakil yang membela kepentingankepentinganwarga korban semburan lumpur panas. Sikap “seolah-olah netral” sebagaimana ditunjukkan pemerintah SBY-Kalla merupakan penafsiran yang keliru dari SBY-Kalla dalam memandang peranan pokok pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara.

Disisi lain mitos bencana alam-yakni mengkaitkan semburan Lumpur dengan gempa di yogyakarta- yang coba dikembangkan untuk menghindari “tanggung jawab yang lebih besar” dari PT Lapindo Brantas juga menjadi sorotan penting dalam buku ini. Pertarungan dua kubu inteletual yakni intelektual yang berpegang teguh pada kebenaran ilmu pengetahuan vs ilmuwan yang membela perusahaan. Kisah pertarungan dua kubu intelektual ini dapat disimak dalam salah satu bab di buku ini.

Berbagai upaya “konspirasi dan “strategi” kotor termasuk aktor-aktor yang turut serta dalam upaya meminimalisir tanggung jawab PT Lapindo Brantas atas bencana yang terjadi diulas cukup lengkap. Buku ini memblejeti berbagai upaya yang dilakukan PT lapindo untuk mengurangi beban tanggung jawabnya mulai dari upaya divestasi, pembentukan opini bencana alam yang disuarakan oleh kaum intelektual, politik media hingga upaya lobi di ranah kekuasaan.

Bagaimana pun perkembangan kasus bencana lumpur panas Sidoarjo tidak bisa dilepaskan dari figur Aburizal Bakrie yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Posisinya dalam kabinet menyebabkan pemerintah tidak bisa bersikap obyektif. Contohnya saat menanggapi kritik terhadap penjualan PT Lapindo Brantas Inc ke Freehold Company, Aburizal Bakrie memberikan komentar yang mengritik langkah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang mencegah transaksi penjualan tersebut. Meskipun komentarnya tidak berhasil mengubah pandangan Bapepam, namun menunjukkan kuatnya itikad dari Aburizal Bakrie untuk melepaskan Grup Bakrie dari berbagai kewajiban akibat semburan lumpur. Setelah taktik tersebut mengalami kegagalan, Aburizal Bakrie menggunakan skenario kedua, yakni mengalihkan tanggungjawab pendanaan dari PT Lapindo Brantas Inc kepada negara melalui APBN.

Para korban Lapindo tentunnya tidak banyak paham tentag soal berbagai skenario yang tengah dimainkan, yang mereka harapkan adalah bagaimana penyelesaian terhadap berbagai kerugian yang mereka terima akibat bencana ini. Semakain berlarut-larutnya penyelesaian kasus ini hanya akan menambah panjang derita mereka.

Sebagai penutup buku ini cukup memberikan jawaban terhadap siapapu yang ingin mempelajari kasus Lapindo. Berbagai analisis ilmiah yang bersifat teknis tentang asal muasal bencana sampai bagaimana korelasi antara bisnis dan kekuasaan dikupas dalam buku ini. Menguti pernyataan Irsyad Thamrin pelajaran penting yang dapat ditarik adalah bahwasannya kejahatan kemanusiaan tidak hanya lahir dari konflik politik namun juga lahir dari motif ekonomi akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

1 komentar:

korban lapindo mengatakan...

Dari awal pemerintah tidak pernah dalam posisi yang netral menghadapi kasus Lapindo. Adanya Bakrie sbg menko kesra justru merupakan kutukan bagi korban, karena kementrian yg justru membela rakyat ketika berhadapan dengan pemodal (seperti halnya kasus Newmon di teluk Buyat) malah dikomandani oleh pemilik perusahaan yang bikin masalah.
Gimana bisa netral kalo sudah gini

Salam kenal,

korban lapindo