Senin, 03 Maret 2008

Selamat Jalan Benazir Bhutto

Selamat Jalan Benazir Bhutto

Oleh : Juniardi dan Oki Hajiansyah Wahab

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana UNILA)

Di penghujung tahun 2007, dunia internasional dikejutkan oleh berita tewasnya pemimpin oposisi dari Partai Rakyat Pakistan (PPP) Benazir Bhutto yang ditembak dalam sebuah kampanye menjelang pemilihan parlemen Januari mendatang. Pembunuhan bermotif politik ini tentunnya menjadi preseden buruk bagi tradisi demokrasi yang beradab.

Kehidupan politik Pakistan, negara dengan penduduk lebih dari 150 juta orang memang dikenal cukup keras dan tidak pernah lepas dari krisis politik dan kudeta. Belakangan krisis politik yang berkepanjangan di Pakistan kembali memakan korban.Bhutto sendiri merupakan pemimpin wanita kedua yang terbunuh di kawasan Asia Selatan. Sebelumnya, Perdana Menteri India, Indira Gandhi juga dibunuh kelompok Sikh pada tanggal 31 Oktober 1984.

Tewasnya Bhutto spontan memicu kemarahan para pendukung setianya yang berdampak pada memanasnya suhu politik di Pakistan. Di beberapa propinsi di Pakistan juga diberitakan terjadi kerusuhan dan penjarahan sebagai wujud kemarahan massa. Hal ini amatlah wajar dikarenakan PPP, partai yang dipimpin Bhutto adalah partai yang cukup berpengaruh di Pakistan. Pengikutnya, yang sebagian besar kaum muda dan kaum anti tuan tanah feodal, masih begitu banyak. PPP cukup dicintai rakyat pakistan terutama mereka dari kaum tani,buruh, dan mahasiswa. terlepas dari personal Benazhir yang didera berbagai kasus korupsi. Dalam pemilu Januari 2008 program-program PPP dianggap cukup radikal, yakni; land reform, nasionalisasi perusahaan asing, pendidikan dan kesehatan untuk rakyat, dan persamaan gender.

Bhutto yang baru saja membicarakan pertemuan dengan Musharraf untuk membicarakan tawaran amnesti politik dalam rangka mengurangi ketegangan politik menjelang pemilu dan perundingan pembagian kekuasaan. Meskipun sebelumnya, Musharraf sudah mengaku bersedia melepas posisi di militer sebagai kepala staf AD namun rencana pembagian kekuasaan antara Presiden Pervez Musharraf dan Bhutto urung terlaksana. Hal ini jugalah menjadi salah satu faktor yang memperpanjang krisis politik di Pakistan.

Rivalitas antar elit politik di Pakistan memang sudah berlangsung sejak lama, kelompok-kelompok reformis yang diwakili Bhutto senantiasa bersaing keras dengan kelompok militan dan juga pemerintahan militer Musharaf. Perjalanan politk di Pakistan juga acapkali diwarnai dengan jatuh bangunnya kekuasaan dan kudeta militer. Tentunnya hal ini menjadi sebuah paradoks ketika seisi peradaban bumi bergerak menuju demokratisasi, Pakistan justru masih bergelut dengan krisis politik dalam proses pembangunan demokrasinya.

Dinasti Bhutto

Jika India memiliki keluarga Gandhi-Nehru sebagai kampiun politik, Pakistan memiliki dinasti keluarga Bhutto. Dinasti keluarga Bhutto sendiri dibangun oleh Zulfiqar Ali Bhutto ayah Benazir Bhutto pernah menjabat sebagai orang pertama di Pakistan, dan juga pendiri PPP yang memiliki basis pendukung yang kuat di Pakistan. PPP kala itu didirikan untuk melawan kediktatoran militer paska kemerdekaan

Lahir di tengah keluarga kaya di Pakistan pada 21 Juni 1953, Benazir Bhutto, terdidik sebagai wanita tangguh dan berambisi membangun karir di bidang politik. Bhutto sendiri bukanlah ”politisi karbitan” yang hanya mewarisi nama besar bapaknya. Ia kuliah di Harvard, Amerika Serikat (1969-1973), dan berhasil meraih gelar BA di bidang politik. Tahun 1973-1977, ia kuliah filsafat, politik, dan ekonomi di Oxford, Inggris.Bhutto sendiri adalah wanita pertama Asia yang pernah menjabat sebagai Presiden Oxford Union, sebuah komunitas debat yang bergengsi.

Setelah menyelesaikan kuliahnya tahun 1977, Bhutto kembali ke Pakistan. Sekembalinya dari Inggris, Bhutto segera terseret dalam pusaran pertarungan politik. Ayahnya dikudeta oleh militer pimpinan Zia ul-Haq, kemudian digantung. Periode inilah yang sangat menentukan perubahan dalam hidup Bhutto yang kemudian segera bergabung dengan PPP yang dipimpin ayahnya.

Tahun 1988, PPP memenangi pemilu terbuka pertama di Pakistan. Kemenangan PPP membawa Bhutto sebagai perdana menteri perempuan pertama Pakistan. Ketika terpilih, usianya baru 35 tahun sehingga dia tercatat sebagai politisi paling muda yang memimpin Pakistan.Hanya dua tahun menduduki kursi PM, Bhutto disingkirkan pada tahun 1990 dengan tuduhan korupsi. Namun, dia tidak pernah diadili. Setelah Bhutto tersingkir, kekuasaan PM jatuh ke tangan Nawaz Sharif, "anak didik" Zia ul-Haq.

Bhutto kembali merebut kekuasaan tahun 1993 setelah Sharif dipaksa mengundurkan diri. Seperti sebelumnya, Bhutto tidak berhasil mempertahankan kekuasaannya. Tahun 1996, Presiden Farooq Leghari membubarkan pemerintahan Bhutto menyusul beberapa skandal korupsi. Jabatan PM kemudian kembali ke tangan Sharif. Tahun 1999, Bhutto kembali tersandung skandal korupsi. Kali ini dia dan suaminya, Asif Ali Zardari, dihukum lima tahun penjara dan didenda 8,6 juta dollar AS karena dituduh menerima imbalan dari sebuah perusahaan Swiss yang dibayar untuk memerangi penggelapan pajak.

Meski didera berbagai kasus korupsi dan serangan politik, sepak terjang politik Bhutto terus berlanjut. Partainya pun tetap mendapatkan dukungan ketika mengikuti pemilu tahun 2002. PPP berhasil mendapatkan suara terbanyak, yakni 28,42 persen dan 80 kursi di majelis nasional. Partai Sharif hanya memperoleh 18 kursi.Sebagian kandidat PPP yang terpilih kemudian membentuk faksi sendiri dan bergabung dalam pemerintahan yang dipimpin partai Jenderal Pervez Musharraf.

Untuk merintangi jalan Bhutto ke kursi kekuasaan untuk ketiga kalinya, Musharraf mengamandemen konstitusi yang melarang seorang perdana menteri menjabat lebih dari dua kali. Dengan demikian, tertutup sudah kesempatan bagi Bhutto untuk berkuasa lagi.Lagi-lagi Bhutto tidak menyerah, ketika popularitas Musharraf mulai redup tahun 2006, Bhutto melancarkan serangan balik. Dia bergabung dengan Aliansi untuk Pemulihan Demokrasi bersama rival lamanya, Nawaz Sharif. Melalui aliansi ini, kelompok oposisi bertekad menggulingkan Musharraf dari kursi kekuasaan.

Saat kembali ke Pakistan pada Oktober 2007, tak lama setelah turun dari pesawat kedatangannnya disambut dengan serangan bom bunuh diri saat menuju Karachi,. Akibatnya, 139 pendukung dan pengawalnya meninggal, namun lagi-lagi Bhuto selamat. Hebatnya kejadian tersebut tidak membuat Bhutto gentar, Bhutto justru menyatakan untuk kembali ikut dalam pemilihan presiden bulan Januari 2008.

Tumbal Politik
Sampai akhir hayatnya pertentangan Bhutto dengan dinas intelijen Pakistan memang tidak pernah surut, dan fakta memang menunjukkan intelijen Pakistan selalu berupaya menjatuhkan Bhutto, terutama dalam mengangkat kasus korupsi dimasa lalu yang melibatkan Bhutto dan suaminya.
Biro intelijen Pakistan memang dikenal menentang keras agenda-agenda Bhutto yang dianggap liberal, sekuler dan dekat dengan Amerika Serikat. Sementara kedekatan dan dukungan terhadap AS dianggap sebagai posisi yang tidak populer di Pakistan.

Disisi lain pertentangan Bhutto dengan kelompok-kelompok militan di Pakistan yang tidak menginginkan adanya pemimpin perempuan di Pakistan. Beberapa kelompok militan, seperti Taliban dan Al Qaeda yang juga menuding Bhutto sebagai kaki tangan Amerika Serikat, negara yang paling dibenci oleh kelompok-kelompok tersebut. Kelompok ini juga secara terang-terangan mengancam akan melakukan pembunuhan terhadap Bhutto.

Hidup Bhutto yang penuh dengan pertarungan dan tantangan sejak kecil itu akhirnya harus berakhir. Perempuan perkasa itu kini telah pergi sebagai tumbal politik dalam perjalanan demokrasi di negerinnya, Pakistan. Sejarah kembali mencatat bahwa perjuangan demokrasi merupakan syarat pokok bagi pergerakan demokrasi di suatu negeri. Pakistan yang demokratis tentunnya bukan lagi sekedar impian.Inilah saatnya bagi Pakistan memulai langkah baru menuju demokratisasi.Selamat jalan, Bhutto!


Tidak ada komentar: