Senin, 03 Maret 2008

Lindungi Pahlawan Devisa

Lindungi Pahlawan Devisa

(Catatan Untuk Hari Buruh Migran Internasional)

Oleh; Oki Hajiansyah Wahab (Mahasiswa Program Pasca Sarjana UNILA)

Mungkin tidak banyak dari kita yang tau bahwasannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 18 Desember sebagai Hari Buruh Migran Internasional. Tanggal tersebut di pilih karena pada tanggal 18 Desember 1990, Sidang Umum PBB telah meratifikasi sebuah konvensi perlindungan hak buruh migran dan keluarganya (the International Convention on the Protection of All Migrant Workers and Members of Their Families).

Dalam pembukaan konvensi ini tertuang cukup jelas pentingnya perlindungan bagi para buruh migran. Salah satu alinea pembukaan menyatakan :“…Mempertimbangkan situasi kerentanan yang seringkali dialami buruh migran dan anggota keluarganya, antara lain pada ketidak-beradaannya di Negara asal pada kesulitan-kesulitan yang mungkin mereka hadapi, yang timbul karena keberadaan mereka di Negara tempat mereka bekerja, Meyakini bahwa hak buruh migran dan anggota keluarganya belum diakui secara memadai dimanapun juga, dan karenanya membutuhkan perlindungan Internasional yang layak.”

PBB melihat bahwa selama ini telah terjadi ketidakadilan terhadap nasib para buruh migran. Perlakuan tidak manusiawi (tindak kekerasan, pembayaran upah rendah, pelecehan dan eksploitasi seksual, perdagangan orang) menjadi sebuah kenyataan pahit dalam dinamika buruh migran saat ini. Globalisasi dengan keterbukaan informasinya telah menelanjangi perilaku tidak beradab segelintir para pengelola negara dan masyarakat yang bertindak sewenang-wenang terhadap para buruh migran.

Indonesia sebagai salah satu negara pengirim buruh migran terbesar ternnyata sampai dengan saat ini ternyata belum meratifikasi Konvensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Karenanya wajar jika sejak dimulainya pengiriman Buruh Migran Indonesia (BMI) hingga saat ini tidak banyak perubahan permasalahan hal tersebut seiiring tidak adanya perubahan intrumen yang tegas dan kepastian perlindungan terhadap hak-hak asasi buruh migran.

Sementara arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terus berlangsung sebagai akibat krisis ekonomi berkepanjangan dan paradigma bahwa BMI sebagai komunitas sebagai penghasil devisa negara tetap dipertahankan. Pemerintah memperkirakan jumlah BMI sekitar 2,1 juta yang berdokumen dan jutaan lainnya yang tidak berdokumen. Jumlah ini semakin meningkat setiap tahunnya, seiring dengan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin merosot.

Minimnya perlindungan pemerintah terhadap buruh migran Indonesia menyebabkan rentetan masalah terus mendera BMI. Ironisnya situasi ini tidak juga direspon secara komprehensif oleh pemerintah. Karena lemahnya perlindungan dari pemerintah menurut data SBMI sepanjang tahun 2005 s/d 2007 kurang lebih terjadi 16.085 kasus BMI dengan berbagai bentuk dan metode pelanggaran yang semangkin canggih. LSM Migrant Care mencatat pada tahun 2007, 120-an buruh migran yang meninggal, sementara media di tanah air hanya melaporkan 30 kasus kematian (Sri Palupi, Kompas, 4/9/07).

Sampai saat ini menjadi buruh migran masih menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang berada di daerah-daerah kantong kemiskinan. Situasi ekonomi Indonesia yang tidakkunjung membaik pasca krisis ekonomi yang berkepanjangan telah menjadi pendorong seseorang untuk bermigrasi. Harus jujur diakui juga bahwasannya BMI memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap GDP Indonesia. Menurut Menakertrans, Erman Suparno, pada tahun 2005 BMI memberikan kontribusi sebesar US$ 2,5 Milyar terhadap pendapatan negara. Dan sekitar US$ 3.5-4 milyar pada tahun 2006 yang di sumbangkan oleh BMI untuk bangsa ini.

BMI terbukti telah membantu menggerakkan sektor ekonomi publik di desa-desa dan juga telah membantu meningkatkan berbagai infrastruktur pendukung di desa-desa di berbagai daerah. Semua dana buruh migran itu juga berdampak pada meningkatnya jumlah dan mutu fasilitas umum serta kesejahteraan bagi para warga lainnya di daerah-daerah. Hal tersebut merupakan bukti nyata kontribusi yang diberikan oleh buruh migran kita bagi negeri ini.

Dengan meningkatnya jumlah aliran dana buruh migran yang masuk ke dalam negeri telah membantu tingkat pendidikan dan kesehatan keluarga-keluarga para buruh migran. Hal ini tentunnya membantu tugas pemerintah dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal yang layak.Di bidang pendidikan dana kiriman itu telah banyak membantu keluarga mereka untuk meningkatkan pendidikan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam pembangunan ekonomi desa dan daerah sumbangan buruh migran juga berdampak sangat signifikan yaitu melalui aliran dana dari buruh migran yang masuk kemudian dipakai untuk membangun rumah dan berbagai kebutuhan primer maupun sekunder lain.

Namun, besarnya kontribusi yang disumbangkan oleh BMI tidak serta merta menjadikan mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah. Ironisnya, penderitaan berlapis-lapis harus dihadapi BMI sejak pra pemberangkatan, pemberangkatan, penempatan dan pemulangan. Banyaknya kasus-kasus yang terjadi terhadap BMI, menunjukkan begitu lemahnya posisi BMI.

Ironisnya hal tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kwalitas derajat instrumen regulatif yang melindungi buruh migran Indonesia. Lahirnya undang-undang yang mengurusi buruh migran (UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Tenaga Kerja) implementasinya terkesan masih hanya sebatas normatif. Secara keseluruhan masalah yang dihadapi BMI dari semua levelisasi penempatan terletak pada pengabaian hak asasi dari buruh migran dan menjadikan penempatan BMI semata-mata sebagai lalu lintas perniagaan semata.

Paradigma komoditif masih mendominasi politik pengelolaan buruh migran Indonesia. Menakertrans RI yang secara terang-terangan menargetkan perolehan remitansi dari buruh migran sebesar 186 trilyun rupiah pada tahun 2009.Tampak jelas bahwasannya target perolehan devisa melalui remitansi dari buruh migran lebih menonjol dibandingkan dengan upaya serius untuk memberikan perlindungan bagi para BMI. Kondisi ini menempatkan BMI terkesan menjadi sapi perahan penghasil devisa bagi pemerintah.

Kedepannya pemerintah harus segera menjalin kerjasama multilateral dengan negara-negara sesama negara asal dan negara tujuan BMI, menuntut pemerintah supaya segera meratifikasi Konvensi PBB Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya serta konvensi ILO nomor 97 dan 143 Tentang Kesamaan Kerja. Selain itu Instrument pokok yang harus segera disusun adalah pengikatan secara hukum internasional dalam kebijakan penempatan buruh migran, baik dalam bentuk bilateral agreement dan penyepakatan instrument multilateral. Depnakertrans dan BNP2TKI juga diharapkan juga segera membuat sistem perlindungan dan bantuan hukum serta segera meralisasikan pelayanan yang perlindungan mulai pra penempatan hingga pasca penempatan

Tentunnya kita semua berharap Indonesia dapat menjadi negeri yang memberi tempat yang layak bagi ‘perasaan’ dan ‘tangisan’ rakyatnya yang sedang bertaruh hidup di negeri orang. Bagaimanapun mereka adalah cermin bangsa kita sebagai negara yang belum sepenuhnya berhasil menyediakan lapangan kerja dan pendapatan yang layak bagi rakyatnya.

Tidak ada komentar: