Senin, 03 Maret 2008

RUU PM dan Potensi Konflik Agraria

RUU PM dan Potensi Konflik Agraria

Oleh: Oki Hajiansyah Wahab

(Aktif di YABIMA Lampung)

Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal (RUU PM) disinyalir banyak kalangan merupakan bagian dari strategi rezim untuk mengikuti keinginan para investor asing yang ingin menanamkan modalnnya di Indonesia . Para pemerhati agraria khususnya menilai bahwasannya RUU PM hanya akan melegalkan praktek buruk investasi khususnya praktek kotor modal dan korporasi di lapangan agraria.

Kebijakan ekonomi Rezim SBY-Kalla yang sering disebut sebagai Triple Tracks Strategy yaitu Pro-Growth (Pro Pertumbuhan), Pro Employment (Pro Lapangan Pekerjaan) dan Pro Poor (Pro Orang Miskin). Perbaikan iklim investasi dijalankan dengan mendasarkan diri pada Inpres No 3 Tahun 2006 yang memuat beberapa program seperti : perubahan UU Penanaman Modal sehingga lebih pro investasi asing, percepatan izin usaha, peninjauan perda bermasalah yang menghambat investasi, penciptaan fleksibilitas ketenagakerjaan dengan perubahan UU yang lebih pro investasi.

RUU PM yang tengah digodok dirasakan juga erat kaitannnya juga dengan beberapa perubahan kebijakan di bidang pertanahan. Seperti kebijakan land Market (pasar tanah) yang gencar dikampanyekan Bank Dunia saat ini di seluruh dunia. Salah satu proyek deregulasi pertanahan dalam kerangka pasar tanah yang disarankan oleh Bank Dunia kepada Pemerintah Indonesia adalah apa yang disebut sebagai Land Administration Project atau Proyek Administrasi Pertanahan (PAP).

Ada satu titik masuk untuk melihat asal-usul PAP sebagai bagian dari strategi global Bank Dunia, yakni uraian Bab II dalam dokumen Bank Dunia berjudul Staff Appraisal Repor: Indonesia-Land Administration Project (SAR) dengan judul “Bank Experience, Strategy, and Rationale for Bank Involvemet.” PAP ini direncanakan berlangsung selama 25 tahun, dimulai dengan PAP I yang telah berlangsung sejak tahun 1995-2000. Untuk pelaksanaan PAP I (periode 1995-2000) saja, Bank Dunia memberikan hutang kepada Pemerintah Indonesia sebesar US$ 80 juta.

Selintas, tujuan PAP ini tampak akan menguntungkan rakyat Indonesia. Namun, dalam hal ini kita mesti membongkar secara sungguh-sungguh tujuan jangka panjang dari kepentingan Bank Dunia dalam mempromosikan pasar tanah ini. Sesungguhnya Bank Dunia menginginkan peran pemerintah sebagai penyedia tanah dikurangi otoritasnya. Bank Dunia juga hendak menghapus seoptimal mungkin para calo pertanahan. Tentunya hal ini bagus selama ia memang ditujukan sebaik-baiknya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sayangnya tidak demikian, Bank Dunia lebih berpikir bagaimana membuat iklim investasi di Indonesia lebih nyaman bagi beroperasinya modal-modal besar, khususnya perusahaan-perusahaan multi/trans-nasional, dengan cara terciptanya mekanime penyediaan tanah yang lebih efisien.

Investasi dan Konflik Agraria

Seiring dengan masuknya arus modal asing ke Indonesia pasca diberlakukannnya UU Penanaan Modal Asing (UUPMA) oleh rezim Orde Baru tentunnya membawa beberapa perubahan signifikan. Monopolii penguasaan atas tanah mulai dijalankan oleh para investor, situasi inilah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan agraria. Gambaran mengenai ketimpangan dalam penguasaan tanah pertanian, pada dasarnya hanya sebagian dari persoalan ketimpangan agraria, yang lebih luas cakupan persoalan dan akibatnya. Sebagaimana diketahui bahwa pembahasan mengenai sumber-sumber agraria, berarti juga akan menyinggung bagian-bagian lain dari sumber kekayaan Indonesia, seperti hutan, laut, hasil bumi, berupa tambang dan berbagai jenis kekayaan lain.

Sampai tahun 1993 saja , perkebunan besar menguasai sekitar 3,80 juta hektar tanah, dalam hal ini oleh 1206 perusahaan. Dengan demikian, setiap perusahaan rata-rata menguasai 3.150 hektar Bandingkan dengan rata-rata luas usaha mayoritas kaum tani yang hanya 0,5 hektar (SP 1993). Satu perbandingan yang cukup menyesakkan dada ketika keinginan rakyat hanya untuk sekedar bertahan hidup harus dikalahkan oleh kepentingan para investor untuk menikmati keuntungan atas monopoli tanah yang mereka kuasai.

Mari kita tengok data lainnya , dari hasil Survei Pertanian (SP) tahun 1993, jumlah rumah tangga pedesaan yang menguasai tanah kurang dari 1 (satu) hektar, mencapai jumlah 84% (22.860.254 rumah tangga). Sementara mereka yang menguasai tanah di atas 1 hektar, hanya 16% (4.421.746 rumah tangga), dengan proporsi tanah yang dikuasai sebesar 69% (Laporan KPA pada ICCARD). Derasnya investasi inilah yang menyebabkan adanya satu proses monopoli atas tanah yang berujung pada satu situasi yang disebut ketimpangan agraria yang bermuara pada pemiskinan massal. Situasi inilah yang menyebabkan lahirnya konflik-konflik agraria di Indonesia.

Selanjutnya, hasil SP 2003 menunjukkan semakin miskinnya petani Indonesia. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah petani gurem tahun 2003 menjadi 56,5%. Tetapi selama periode tersebut, kenaikan persentase rumah tangga petani gurem di Jawa jauh lebih cepat dari luar Jawa. Menurut Sensus Pertanian 1993 (ST93) , persentase rumah tangga petani gurem di Jawa adalah 69,8%, sedangkan menurut Sensus Pertanian 2003 (ST03) menjadi 74,9% atau naik 5,1%. Di luar Jawa dalam ST93 sebesar 30,6% sedangkan berdasarkan ST03 meningkat menjadi 33,9% atau naik 3,3%. Artinya Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6% per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003.

Konflik agraria lahir sebagai dampak dari praktek kotor monopoli tanah dibawah payung kebebasan investasi. Sebagai satu ilustrasi tingginya angka konflik agraria di Indonesia dapat dilihat dari database kasus yang dimiliki oleh Konsorsium Pembaruan agraria (KPA) bahwasannya sampai tahun 2003 terdapat 1.753 konflik agraria. Sementara Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak tahun 1997 menerima 2.846 kasus pengaduan.

Hari ini pembahasan RUU PM yang notabene banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan ini juga didalam beberapa pasal di dalamnnya mendorong terjadinya liberalisasi di bidang pertanahan. Dalam draft RUU ini, pemerintah akan memberi fasilitas bagi korporasi dengan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, HGB 80 tahun, Hak Pakai 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus (Pasal 20). RUU ini jauh lebih hebat dari hukum agraria kolonial Belanda Agrarische Wet 1870 yang tujuannya sama persis yakni menarik investasi swasta di Indonesia. Pemerintah colonial Belanda saja hanya membolehkan pemakaian tanah semacam HGU (hak erpacht) selama 75 tahun.

Artinya ketika RUU PM disahkan maka dapat diprediksikan meningkatkanya krisis agraria di Indonesia. Satu hal yang pasti tak dapat dielakkan adalah semakin meningkatnya konflik-konflik agraria di Indonesia. Sayangnya hal ini sama sekali tidak menjadi rujukan dalam pembahasan RUU PM. Oleh karenanya wajar sekali anggaan bahwasannya ketika RUU PM disahkan adalah praktek kolaboratif antara kepentingan pemodal dan pemerintah yang ingin menggadaikan rakyat, bangsa dan negara.

1 komentar:

ASOSIASI mengatakan...

menurut saya, hukum ( UUPA ) adalah sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, Sarana ( UUPA ) dapat kita lihat sebagai suatu istilah dengan makna ambiguitas. Dikatakan ambigu karena
1. jika kita melihatnnya dari sudut pandang metafisis filosofis, memang jiwa dan semangat dari ruu sumber daya agraria agak jauh dari konsep dan cita - cita hukum bangsa indonesia, karena bagaimanapun hubungan antara rakyat indonesia yang menyatu sebagai bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa termasuk sember daya alam yang ada didalamnya adalah hubungan yang bersifat abadi. Nah,... dengan pandangan yang demikian, bagaimana bisa rakyat kita menjadi tamu diatas tanah sendiri.
2. Jika kita melihatnya dari sisi empiris sosiologis, kita harus jujur dan tidak munafik bahwa, pada kenyataannya, tanah - tanah yang oleh pemerintah diberikan suatu hak kepada investor, tidak semuanya dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh rakyat kita sendiri. Singkatnya, jika mengacu pada proses pencapaian tujuan yang terbaik, memang secara matematis proporsional, investasi juga akan memberikan pemasukan yang secara apriori sangat besar bagi negara.Tapi persoalannya adalah apakah pendapatan tersebut telah diberikan kepada yang berhak menerimanya ( dalam hal ini seluruh rakyat indonesia ) ?, jadi lagi - lagi kita dihadapkan dengan fenomena korupsi yang pada umumnya dilatar belakangi oleh mentalitas para pejabat kita yang tidak ubahnya seperti tikus - tikus berwajah orang.