Senin, 03 Maret 2008

Hukum Progresif Sebagai Alternatif

Hukum Progresif Sebagai Alternatif

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab

Sejumlah praktisi, akademisi, dan pengamat hukum menilai hukum yang berlaku di Indonesia hari ini dirasa sangat dipengaruhi oleh transaksi politik. Kepentingan kelompok politik yang dominan lebih berpengaruh ketimbang kepentingan publik. Banyaknya kegagalan penegakan hukum di Indonesia dibuktikan dengan fenomena sulitnya membawa para koruptor ke pengadilan. Kegagalan tersebut antara lain disebabkan oleh sikap submissive terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti prosedur, doktrin, dan asas. Sebagai akibatnya, hukum justru menjadi safe bagi koruptor. Dampak lainya, banyak kalangan yang merasa merasa belum mendapatkan keadilan dari hukum. Karena itu, mereka mengajukan alternatif hukum progresif atau hukum responsif untuk menjawab rasa keadilan tersebut.

Karl Marx adalah satu diantara pemikir-pemikir yang secara sistematik mengaitkan hukum dengan struktur kekuasaan dan tuntutan pembaharuan (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain). Menggunakan pendekatan kesejarahan dari sudut pandang ekonomi (historis materialisme), Marx menempatkan hukum tidak lebih dari sebuah instrumen untuk melindungi dan menjamin kepentingan kelas yang berkuasa (kapitalis) di satu pihak, dan memeras serta menindas kelas pekerja (proletar) di pihak lain. Kenyataan historis membenarkan analisis Marx bahwa dalam sistim politik, sosial atau ekonomi tertentu memang didapati berbagai aturan hukum yang diciptakan untuk kepentingan kekuasaan dan merugikan kepentingan rakyat banyak.Hukum-hukum dalam sistim kediktatoran dapat menjadi contoh mengenai kebenaran analisis Marx. Demikian pula sejarah nasional Indonesia. Betapa banyak hukum-hukum yang diciptakan demi kepentingan kaum kolonial dan merugikan rakyat Indonesia. Aturan-aturan hukum mengenai penggolongan penduduk beserta produk lanjutannya, begitu pula akibat pengaturan mengenai hukum agraria (tanah), perbedaan perlakuan dalam pemerintahan dan lain-lain merupakan contoh-contoh nyata hukum yang dibuat untuk kepentingan penguasa dan

Sesungguhnya sejak pertengahan abad ke-20 orang sudah mulai menyadari betapa tidak sederhananya penegakan hukum. Tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik. Dalam penegakan hukum jangan lagi orang bicara berdasar prinsip "peraturan dan logika" (rules and logic) semata. Realitas itu menandai ekspektasi konstitusi, yakni terciptanya supremasi hukum dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Peradilan yang independen dan tidak memihak (fair tribunal and independence of judiciary) sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum (rule of law) dengan demikian juga masih sangat problematis. Perilaku-perilaku para aktor dunia peradilan yang masih belum bisa bersikap adil, bahkan less authoritativeness ketika menghadapi pihak yang memiliki relasi dengan kekuasaan di satu pihak dan more authoritativeness ketika berhadapan dengan masyarakat kecil di lain pihak, makin mengukuhkan belum terjadinya lompatan paradigmatik. Kenyataan ini menandai bahwa kekuasaan masih menjadi panglima, bukan keadilan dan persamaan di dalam hukum. Sehingga, secara praktis tepatlah yang dikatakan oleh Marc Galanter (1970) bahwa “the haves come out ahead”. Dalam konteks teoritis, kenyataan ini mengukuhkan teorisasi “legal melee” Charles Sampford (1989) bahwa hukum tidaklah sistematis dan mengalami ketidakteraturan (legal disorder). Berbeda dengan pandangan ortodok yang menganggap hukum itu sistematis (law as a system) dan teratur. Artinya, hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sentripetal yang menciptakan institusi yang terorganisir, tetapi pada waktu yang sama juga tunduk pada kekuatan-kekuatan sentrifugal yang menciptakan konflik dan ketidakteraturan (disorder).

Dengan menggunakan ungkapan Nonet dan Selznick (1978), maka kita sesungguhnya belum beranjak dari orde hukum yang represif (represif law), atau belum berorde hukum yang otonom (autonomous law), lebih-lebih berorde hukum responsif (responsive law). Ini artinya, proses-proses bekerjanya hukum, baik melalui birokrasi maupun peradilan adalah suatu proses distribusi “keadilan kelas” (class justice) belaka. Dalam perspektif demikian, keadilan yang didistribusikan oleh pengadilan tidak lebih dari keadilan formal (formal justice).

Keinginan agar terjadi pergeseran atau perubahan paradigma dalam penegakan hukum tentu saja tidak cukup dengan retorika bahwa hukum tidak lagi berada dalam posisi subordinat pada politik. Bahkan keberadaan UU 35/1999 jo. UU 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang “menuntaskan” secara yuridis formal posisi independensi kekuasaan kehakiman (independence of judiciary) masih memerlukan bukti lebih banyak. Lebih-lebih jika menerima pandangan pengikut paham institusionalis lama (old institutionalist) yang mengingatkan bahwa “politik memasuki proses-proses hukum dengan cara-cara halus dan kompleks”. (Cornell W. Clayton, 1997) Paham ini yakin bahwa preferensi-preferensi kebijakan (policy preferences) dan kepentingan-kepentingan individual menentukan putusan hakim.

Perubahan paradigma hukum yang diharapkan tentunya akan benar-benar ada jika terjadi secara menyeluruh dalam semua area maupun tingkatan proses pembentukan maupun penegakan hukum. Karena itu, apa yang terjadi di pusat atau daerah saja belum dapat mengklaim terjadinya lompatan paradigmatik. Pengadilan progresif mengikuti maksim, "hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya". Bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata UU.Guru Besar Hukum dari Universitas Diponegoro Prof Dr Satjipto Rahadrjo SH berpandangan bahwasanya untuk menggagas dan menjadikan ilmu hukum Indonesia itu lebih progresif, maka hukum yang berlaku tidak terlalu konvensional dan juga tidak tradisional. Sebab, kata dia, dengan cara-cara seperti itu (hukum yang ada --Red), telah menyebabkan bangsa ini gagal untuk mengatasi krisis hukum yang terjadi pada bangsa ini. Karenanya, hukum progresif yang diharapkan bisa berlaku di Indonesia ini, benar-benar menjadi pedoman dan tidak hanya sekadar wacana saja.Di samping itu, menurut Satjipto, hukum yang progresif adalah hukum yang bisa mengikuti perkembangan zaman dan mampu menjawab perubahan zaman tersebut dengan segala dasar-dasar yang ada di dalamnya. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan erat dengan basis habitat dari hukum itu sendiri. Seperti pada abad ke-19, ketika konsep negara modern muncul dan menjadi basis fisik-teritorial yang menentukan hukum. Konsep-konsep, prinsip, dan doktrin pun harus ditinjau kembali dan diperbarui.

Melihat kondisi yang selalu berubah, maka garis depan (frontier) ilmu hukum juga senantiasa berubah. Ilmu hukum menjadi berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa mengalami pembentukan (legal science is always in the making). Upaya untuk menciptakan perubahan (reformasi) hukum, baik dalam proses pembentukan hukum maupun penegakan hukum, dalam rangka menegakkan ide-ide besar konstitusi, mulai dari keadilan sampai supremasi hukum itu sendiri, niscaya bergerak dari dua arah – atas-bawah. Artinya, reformasi harus juga digerakkan, bahkan dimulai dalam proses-proses yang berlangsung dalam tingkatan daerah, di samping pada tingkatan nasional, lebih-lebih dalam konteks otonomi daerah. Kenyataan mempertontonkan bahwa dalam proses-proses pembentukan hukum di tingkatan daerah, sebagai misal dalam penyusunan peraturan daerah (Perda) tidaklah kalah besarnya potensi terjadinya praktik-praktik kotor yang merugikan atau mengorbankan kepentingan masyarakat. Dengan ungkapan lain, dalam tingkatan daerah pun praktik-praktik kolusi dalam proses-proses pembentukan Perda tidak kalah canggih-nya dibanding dengan yang terjadi di tingkatan Pusat.

Demikian halnya dalam proses-proses penegakan hukum; munculnya mafia-mafia peradilan atau “broker” perkara juga bukan merupakan barang aneh. Semua itu menandai bahwa supremasi hukum berada di bawah bayang-bayang kekuasaan, baik kekuasaan politik ataupun uang, dan ini berarti suatu kebangkrutan hukum. Dan, upaya-upaya untuk menegakkannya ditentukan pula dalam proses-proses hukum di daerah. Karena itu, komitmen moral dan hukum para pemegang kekuasaan di daerah, baik dalam lingkungan eksekutif, DPRD, maupun lembaga-lembaga penegakan hukumnya, sangat menentukan. Sebab, kendati lebih dekat dengan masyarakat, namun justru masyarakat di daerah pada umumnya lebih mudah dikondisikan dalam suasana yang represif, sehingga tidak punya banyak keberanian dan kekuatan untuk melakukan “perlawanan” terhadap orde hukum yang represif.

Untuk itu lahirnya hukum progresif merupakan antitesis dari realitas hukum saat ini, dimana diperlukan keberanian dan komitmen untuk melakukan pembangunan orde hukum yang responsif (termasuk meningkatkan kualitas penegakan hukum) dengan melakukan perbaikan di berbagai sektor hukum, baik itu dari segi sistem hukumnya sendiri, aparatur penegak hukum, maupun segi pendidikan/kurikulum hukum . Menurut Sacipto Rahardjo, sistem liberal melihat bahwa konsep kesamaan (equality) didasarkan kepada individu sebagai unit (individual equality), maka hukum progresif adalah kebalikan dari system hukum liberal, dimana hukum progresif menawarkan konsep kesamaan didasarkan kepada kolektiva atau kebersamaan (group-related equality). Dengan kata lain hukum progresif bertujuan untuk menggunakan hukum bagi kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Di dalam pandangan hukum progresif hukum dilihat sebagai instrumen untuk melayani kepentingan rakyat, maka apabila rakyat menghadapi persoalan hukum yang berdimensi structural, bukan rakyat yang dipersalahkan, melainkan kita harus mengkaji asas, doktrin ataupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tidak ada komentar: