Senin, 03 Maret 2008

Politik Upah Murah

Politik Upah Murah

Oleh: Oki Hajiansyah Wahab

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana UNILA )

Kebijakan pengupahan merupakan salah satu kebijakan yang cukup penting di bidang industri dan selalu mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan, baik dari buruh maupun pengusaha. Setiap akhir tahun diberbagai daerah biasanya kita akan menyaksikan kaum buruh beramai-ramai menyerukan tuntutan kenaikan upah minimum kota atau provinsi.

Nilai kenaikan upah bagi buruh dewasa ini dirasakan sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup, dibeberapa tempat juga seringkali besaran kenaikan upah seringkali tidak disesuaikan dengan standar kebutuhan hidup layak bagi buruh. Tahun ini survey Dewan Pengupahan menyatakan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) untuk tahun 2008 adalah sebesar Rp771.848.Penetapan KHL kali ini memang meningkat dari tahun sebelumnya yakni sebesar Rp. 632.888. Kenaikan ini tentunnya tidak mengherankan ditengah laju inflasi dan kenaikan harga barang-barang di pasaran.

Kaum buruh di Lampung sendiri tentu tidak akan lupa bahwa Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bandar lampung dalam dua tahun terkahir tidak pernah mencapai 100% KHL sesuai dengan ketentuan Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 dan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Pada Tahun 2005 pemerintah menetapkan KHL untuk tahun 2006 adalah sebesar Rp.589.540 tapi kemudian UMK yang ditetapkan hanya Rp.510.000 atau hanya 86% dari KHL. Selanjutnya Tahun 2006 pemerintah menetapkan KHL tahun 2007 adalah sebesar Rp.632.888 Tapi UMK yang ditetapkan adalah Rp.560.500 atau hanya 88,56% dari KHL.

Penetapan UMK untuk tahun 2008 tampaknya juga tidak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana UMK tidak mencapai 100% seperti yang diamantkan oleh peraturan yang berlaku. Besaran KHL untuk tahun 2008 adalah sebesar Rp.771.848 tapi Dewan Pengupahan telah menetapkan UMK sebesar Rp.712.500 atau hanya 92,35%. Angka Rp712.500 tersebut merupakan angka rata-rata dari angka UMK yang diajukan lima unsur Dewan Pengupahan Kota. Serikat pekerja tetap bertahan di angka UMK sama dengan KHL Rp771.848. Angka UMK yang diajukan pemerintah Rp700 ribu; akademisi Rp765.387,Pakar Pengupahan Rp710.100 dan angka UMK yang diajukan Apindo Rp616.550 (Lampost,21 Desember 2007)

Besaran yang diajukan oleh Dewan Pengupahan kini tinggal menunggu persetujuan dari pengambil kebijakan sebelum disahkan.Uniknya, meskipun lagi-lagi UMK yang ditetapkan tidak mencapai 100% KHL, APINDO sebagai wakil pengusaha di Dewan Pengupahan menilai bahwa penetapan UMK sebesar Rp.712.500 masih terlalu besar bagi mereka.

Dalam beberapa kajian, salah satu akar persoalan dari buramnya potret perburuhan kita adalah kebijakan politik upah murah yang diterapkan oleh penguasa sejak orde baru. Buruh dianggap semata-mata sebagai faktor produksi layaknya modal, yang nilainya bisa dimainkan oleh mekanisme pasar. Suplai tenaga kerja yang terlalu besar di satu sisi dan jumlah lapangan kerja yang terbatas di sisi lain menyebabkan di atas kertas harga tenaga kerja Indonesia sudah pasti akan sangat murah.

Politik upah murah sudah pasti menjadi daya tarik bagi para investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Ditambah lagi, negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru patuh di bawah tekanan kapital. Hal ini tercermin dari sikap pemerintah yang terus berupaya menciptakan kondisi yang friendly pada modal melalui berbagai revisi perundangan yang dianggap “memusuhi” pengusaha. Ironisnya politik upah murah justru diyakini pemerintah sebagai solusi dari permasalahan investasi di Indonesia guna mengatasi jumlah pengangguran yang terus bertambah.

Rendahnya upah buruh di Indonesia bukanlah isapan jempol belaka. Merujuk pada penelitian Asia Financial News pada tahun 2001, dikatakan bahwa upah minimum yang berlaku di Indonesia jika disetarakan dengan dollar, rata-rata hanya US$ 28,2 per bulan. Sedangkan di Malaysia 1.500 ringgit atau sekitar US$ 394, di Filipina 7.370 peso atau setara dengan US$ 152, di Cina 772 yuan atau kira-kira US$ 93, Sri Langka 3.500 rupee atau sekitar US$ 43, Singapura S$2.700 atau sekitar US$ 1.630 atau sekitar Rp 16,3 juta per bulan. Bahkan TKW kita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura, gajinya sekitar Rp 1,5 juta per bulan, sementara di Indonesia hanya berkisar Rp 300-600 ribu per bulan.

Pemerintah sampai saat ini masih meyakini bahwa angka pengangguran yang semakin meningkat setiap tahunnya pangkalnya disebabkan karena investor tidak tertarik untuk menamkan investasnya di Indonesia. Hal ini tepat, tapi kemudian keliru jika pemerintah menganggap tidak datangnya investor adalah karena upah buruh yang tinggi di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) mengatakan bahwasannya hal yang paling mempengaruhi masuknya investasi adalah birokrasi yang berbelit-belit serta biaya siluman yang mengakibatkan membengkaknya biaya produksi.

Penelitian INDOC menyatakan bahwa upah buruh Indonesia saat ini memang sangat rendah, yakni hanya berkisar 5 sampai 6% dari biaya produksi. data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan upah buruh hanya menghabiskan 25 persen dari total komponen pengeluaran perusahaan. Sementara 60 persen adalah biaya produksi, sementara 15 persen lainnya adalah 'uang siluman'. Fakta juga menunjukan bahwa Brunei dan Singapura yang upah buruhnya jauh di atas upah buruh Indonesia justru menjadi sasaran utama investasi. (Ihsan Prasodjo: 2006).

Situasi pasar tenaga kerja di Indonesia saat ini memang telah terjebak dalam dilema yang pelik. Pada sisi penawaran, telah terjadi labour surplus yang ekstrim akibat supply buruh yang tinggi, seiring dengan tingginya angka pengangguran yang telah mencapai angka 42,1 juta orang. Namun demikian, upaya penerapan labour market flexibility dengan politik upah murah sebagai salah satu pilarnya bukanlah solusi yang tepat karena hal tersebut hanya akan mengorbankan kepentingan buruh.

Kekhawatiran tentang dampak cheap labour policy dan labour market flexibility juga disinggung oleh Vedy R Hadiz (2000), Modal bergerak dengan mudah dan tanpa henti terus mencari buruh murah dan lemah di Indonesia. Segala hal telah tereduksi menjadi hanya sebatas persoalan untung-rugi, dengan menelantarkan persoalan kemanusian. Penerapan fleksibilitas tenaga kerja dan politik upah murah itu dapat dipastikan hanya akan bemuara pada situasi dimana ekspolitasi terhadap buruh semakin meningkat ditengah beban hidup yang tinggi.

Dalam situasi ini buruh hanya menjadi objek kepentingan politik penguasa dan pengusaha. Posisi buruh selama ini sekadar penjual tenaga kerja.Sementara posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi jalannya proses produksi. Parahnya bukan hanya upah yang rendah, tetapi serngkali juga hak-hak normatif lainnya, jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua kaum buruh ikut diabaikan.

Pertanyaanya kemudian adalah apakah dengan kondisi seperti ini, pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan politik upah murah seperti yang diinginkan oleh para investor, atau justru sebaliknya, pemerintah akan lebih memperhatikan hak-hak buruh dalam memperoleh kesejahteraannya?. Satu hal yang pasti adalah bahwa upah buruh yang rendah pastinnya berkorelasi dengan meningkatnya angka kemiskinan

Walaupun bukan satu-satunya cara, kenaikan upah adalah salah satu upaya untuk meningkatkan ekonomi kaum buruh. Tapi, kenaikan itu akan lebih berarti lagi jika diikuti dengan upaya dari pemerintah untuk mengendalikan harga-harga sebagai dampak dari kenaikan upah tersebut. Sebab, apalah artinya kenaikan upah bila kemudian diikuti dengan kenaikan harga. Tentunya kita semua berharap pemerintah akan jauh lebih arif karena sudah semestinya negara hadir untuk melindungi kepentingan kaum buruh sebagai jawaban atas kenyataan bahwa pemilik modal selalu lebih berkuasa daripada buruh. Tahun ini juga kita semua berharap buruh akan mendapatkan hak atas upah yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya.

.


Tidak ada komentar: