Senin, 17 Maret 2008

Resensi Buku Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo

Judul : Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo

Penulis : Ali Azhar Akbar

Tebal : 252 hal, 15x 23 cm

Penerbit : Galang Press

Cetakan I : 2007



Keadilan Untuk Korban Lapindo!

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab (Peminat Buku)

Bencana besar Lumpur Lapindo yang telah berlangsung sejak tahun 2006 sampai saat ini masih terus melahirkan berbagai persoalan. Pemerintah seakan tak berdaya menyelesaikannya sehingga terkesan melakukan “pembiaran sistemik” sehingga menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang begitu besar. Ribuan korban di pengungsian sampai dengan hari ini masih terus menunggu kepastian nasib mereka.

Buku yang ditulis oleh Ali Azhar Akbar menyajikan sebuah analisis yang komperehensif yang tidak hanya bersifat teknis yakni asal mula semburan Lumpur panas Lapindo tapi juga sisi-sisi lain bisnis minyak dan peranan kekuasaan dalam bisnis tersebut. Buku ini menceritakan kisah para pemilik Lapindo dan relasinya dengan kekuasaan dalam rangka upaya membangun kerajaan bisnisnya.

Dalam kasus bencana semburan lumpur panas Sidoarjo, pemerintah SBY-Kalla berhadapan dengan dua masalah sekaligus. Pertama, menghentikan semburan lumpur panas dan menyalurkan atau membuang genangan lumpur. Kedua, menangani dampak sosial dan ekonomi, baik dalam memulihkan atau membangun kembali infrastruktur dan sarana umum yang rusak akibat luberan lumpur maupun dalam menangani masalah-masalah sosial yang didalamnya terdapat keharusan untuk memberikan kompensasi yang sepadan bagi warga yang terkena genangan. Kedua masalah itu tentunnya saling terkait dan sama-sama pelik.

Dari seluruh proses yang coba dilakukan pemerintah —khususnya terkait dengan masalah ganti rugi kepada warga—pemerintah justru menempatkan diri dalam posisi seolah-olah “netral”. Hal ini secara jelas terlihat dari posisi pemerintah dalam menangani sengketa antara PT Lapindo dengan warga empat desa maupun dengan warga perumtas I. Pemerintah tidak bertindak sebagai wakil yang membela kepentingankepentinganwarga korban semburan lumpur panas. Sikap “seolah-olah netral” sebagaimana ditunjukkan pemerintah SBY-Kalla merupakan penafsiran yang keliru dari SBY-Kalla dalam memandang peranan pokok pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara.

Disisi lain mitos bencana alam-yakni mengkaitkan semburan Lumpur dengan gempa di yogyakarta- yang coba dikembangkan untuk menghindari “tanggung jawab yang lebih besar” dari PT Lapindo Brantas juga menjadi sorotan penting dalam buku ini. Pertarungan dua kubu inteletual yakni intelektual yang berpegang teguh pada kebenaran ilmu pengetahuan vs ilmuwan yang membela perusahaan. Kisah pertarungan dua kubu intelektual ini dapat disimak dalam salah satu bab di buku ini.

Berbagai upaya “konspirasi dan “strategi” kotor termasuk aktor-aktor yang turut serta dalam upaya meminimalisir tanggung jawab PT Lapindo Brantas atas bencana yang terjadi diulas cukup lengkap. Buku ini memblejeti berbagai upaya yang dilakukan PT lapindo untuk mengurangi beban tanggung jawabnya mulai dari upaya divestasi, pembentukan opini bencana alam yang disuarakan oleh kaum intelektual, politik media hingga upaya lobi di ranah kekuasaan.

Bagaimana pun perkembangan kasus bencana lumpur panas Sidoarjo tidak bisa dilepaskan dari figur Aburizal Bakrie yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Posisinya dalam kabinet menyebabkan pemerintah tidak bisa bersikap obyektif. Contohnya saat menanggapi kritik terhadap penjualan PT Lapindo Brantas Inc ke Freehold Company, Aburizal Bakrie memberikan komentar yang mengritik langkah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang mencegah transaksi penjualan tersebut. Meskipun komentarnya tidak berhasil mengubah pandangan Bapepam, namun menunjukkan kuatnya itikad dari Aburizal Bakrie untuk melepaskan Grup Bakrie dari berbagai kewajiban akibat semburan lumpur. Setelah taktik tersebut mengalami kegagalan, Aburizal Bakrie menggunakan skenario kedua, yakni mengalihkan tanggungjawab pendanaan dari PT Lapindo Brantas Inc kepada negara melalui APBN.

Para korban Lapindo tentunnya tidak banyak paham tentag soal berbagai skenario yang tengah dimainkan, yang mereka harapkan adalah bagaimana penyelesaian terhadap berbagai kerugian yang mereka terima akibat bencana ini. Semakain berlarut-larutnya penyelesaian kasus ini hanya akan menambah panjang derita mereka.

Sebagai penutup buku ini cukup memberikan jawaban terhadap siapapu yang ingin mempelajari kasus Lapindo. Berbagai analisis ilmiah yang bersifat teknis tentang asal muasal bencana sampai bagaimana korelasi antara bisnis dan kekuasaan dikupas dalam buku ini. Menguti pernyataan Irsyad Thamrin pelajaran penting yang dapat ditarik adalah bahwasannya kejahatan kemanusiaan tidak hanya lahir dari konflik politik namun juga lahir dari motif ekonomi akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Senin, 03 Maret 2008

Selamat Jalan Benazir Bhutto

Selamat Jalan Benazir Bhutto

Oleh : Juniardi dan Oki Hajiansyah Wahab

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana UNILA)

Di penghujung tahun 2007, dunia internasional dikejutkan oleh berita tewasnya pemimpin oposisi dari Partai Rakyat Pakistan (PPP) Benazir Bhutto yang ditembak dalam sebuah kampanye menjelang pemilihan parlemen Januari mendatang. Pembunuhan bermotif politik ini tentunnya menjadi preseden buruk bagi tradisi demokrasi yang beradab.

Kehidupan politik Pakistan, negara dengan penduduk lebih dari 150 juta orang memang dikenal cukup keras dan tidak pernah lepas dari krisis politik dan kudeta. Belakangan krisis politik yang berkepanjangan di Pakistan kembali memakan korban.Bhutto sendiri merupakan pemimpin wanita kedua yang terbunuh di kawasan Asia Selatan. Sebelumnya, Perdana Menteri India, Indira Gandhi juga dibunuh kelompok Sikh pada tanggal 31 Oktober 1984.

Tewasnya Bhutto spontan memicu kemarahan para pendukung setianya yang berdampak pada memanasnya suhu politik di Pakistan. Di beberapa propinsi di Pakistan juga diberitakan terjadi kerusuhan dan penjarahan sebagai wujud kemarahan massa. Hal ini amatlah wajar dikarenakan PPP, partai yang dipimpin Bhutto adalah partai yang cukup berpengaruh di Pakistan. Pengikutnya, yang sebagian besar kaum muda dan kaum anti tuan tanah feodal, masih begitu banyak. PPP cukup dicintai rakyat pakistan terutama mereka dari kaum tani,buruh, dan mahasiswa. terlepas dari personal Benazhir yang didera berbagai kasus korupsi. Dalam pemilu Januari 2008 program-program PPP dianggap cukup radikal, yakni; land reform, nasionalisasi perusahaan asing, pendidikan dan kesehatan untuk rakyat, dan persamaan gender.

Bhutto yang baru saja membicarakan pertemuan dengan Musharraf untuk membicarakan tawaran amnesti politik dalam rangka mengurangi ketegangan politik menjelang pemilu dan perundingan pembagian kekuasaan. Meskipun sebelumnya, Musharraf sudah mengaku bersedia melepas posisi di militer sebagai kepala staf AD namun rencana pembagian kekuasaan antara Presiden Pervez Musharraf dan Bhutto urung terlaksana. Hal ini jugalah menjadi salah satu faktor yang memperpanjang krisis politik di Pakistan.

Rivalitas antar elit politik di Pakistan memang sudah berlangsung sejak lama, kelompok-kelompok reformis yang diwakili Bhutto senantiasa bersaing keras dengan kelompok militan dan juga pemerintahan militer Musharaf. Perjalanan politk di Pakistan juga acapkali diwarnai dengan jatuh bangunnya kekuasaan dan kudeta militer. Tentunnya hal ini menjadi sebuah paradoks ketika seisi peradaban bumi bergerak menuju demokratisasi, Pakistan justru masih bergelut dengan krisis politik dalam proses pembangunan demokrasinya.

Dinasti Bhutto

Jika India memiliki keluarga Gandhi-Nehru sebagai kampiun politik, Pakistan memiliki dinasti keluarga Bhutto. Dinasti keluarga Bhutto sendiri dibangun oleh Zulfiqar Ali Bhutto ayah Benazir Bhutto pernah menjabat sebagai orang pertama di Pakistan, dan juga pendiri PPP yang memiliki basis pendukung yang kuat di Pakistan. PPP kala itu didirikan untuk melawan kediktatoran militer paska kemerdekaan

Lahir di tengah keluarga kaya di Pakistan pada 21 Juni 1953, Benazir Bhutto, terdidik sebagai wanita tangguh dan berambisi membangun karir di bidang politik. Bhutto sendiri bukanlah ”politisi karbitan” yang hanya mewarisi nama besar bapaknya. Ia kuliah di Harvard, Amerika Serikat (1969-1973), dan berhasil meraih gelar BA di bidang politik. Tahun 1973-1977, ia kuliah filsafat, politik, dan ekonomi di Oxford, Inggris.Bhutto sendiri adalah wanita pertama Asia yang pernah menjabat sebagai Presiden Oxford Union, sebuah komunitas debat yang bergengsi.

Setelah menyelesaikan kuliahnya tahun 1977, Bhutto kembali ke Pakistan. Sekembalinya dari Inggris, Bhutto segera terseret dalam pusaran pertarungan politik. Ayahnya dikudeta oleh militer pimpinan Zia ul-Haq, kemudian digantung. Periode inilah yang sangat menentukan perubahan dalam hidup Bhutto yang kemudian segera bergabung dengan PPP yang dipimpin ayahnya.

Tahun 1988, PPP memenangi pemilu terbuka pertama di Pakistan. Kemenangan PPP membawa Bhutto sebagai perdana menteri perempuan pertama Pakistan. Ketika terpilih, usianya baru 35 tahun sehingga dia tercatat sebagai politisi paling muda yang memimpin Pakistan.Hanya dua tahun menduduki kursi PM, Bhutto disingkirkan pada tahun 1990 dengan tuduhan korupsi. Namun, dia tidak pernah diadili. Setelah Bhutto tersingkir, kekuasaan PM jatuh ke tangan Nawaz Sharif, "anak didik" Zia ul-Haq.

Bhutto kembali merebut kekuasaan tahun 1993 setelah Sharif dipaksa mengundurkan diri. Seperti sebelumnya, Bhutto tidak berhasil mempertahankan kekuasaannya. Tahun 1996, Presiden Farooq Leghari membubarkan pemerintahan Bhutto menyusul beberapa skandal korupsi. Jabatan PM kemudian kembali ke tangan Sharif. Tahun 1999, Bhutto kembali tersandung skandal korupsi. Kali ini dia dan suaminya, Asif Ali Zardari, dihukum lima tahun penjara dan didenda 8,6 juta dollar AS karena dituduh menerima imbalan dari sebuah perusahaan Swiss yang dibayar untuk memerangi penggelapan pajak.

Meski didera berbagai kasus korupsi dan serangan politik, sepak terjang politik Bhutto terus berlanjut. Partainya pun tetap mendapatkan dukungan ketika mengikuti pemilu tahun 2002. PPP berhasil mendapatkan suara terbanyak, yakni 28,42 persen dan 80 kursi di majelis nasional. Partai Sharif hanya memperoleh 18 kursi.Sebagian kandidat PPP yang terpilih kemudian membentuk faksi sendiri dan bergabung dalam pemerintahan yang dipimpin partai Jenderal Pervez Musharraf.

Untuk merintangi jalan Bhutto ke kursi kekuasaan untuk ketiga kalinya, Musharraf mengamandemen konstitusi yang melarang seorang perdana menteri menjabat lebih dari dua kali. Dengan demikian, tertutup sudah kesempatan bagi Bhutto untuk berkuasa lagi.Lagi-lagi Bhutto tidak menyerah, ketika popularitas Musharraf mulai redup tahun 2006, Bhutto melancarkan serangan balik. Dia bergabung dengan Aliansi untuk Pemulihan Demokrasi bersama rival lamanya, Nawaz Sharif. Melalui aliansi ini, kelompok oposisi bertekad menggulingkan Musharraf dari kursi kekuasaan.

Saat kembali ke Pakistan pada Oktober 2007, tak lama setelah turun dari pesawat kedatangannnya disambut dengan serangan bom bunuh diri saat menuju Karachi,. Akibatnya, 139 pendukung dan pengawalnya meninggal, namun lagi-lagi Bhuto selamat. Hebatnya kejadian tersebut tidak membuat Bhutto gentar, Bhutto justru menyatakan untuk kembali ikut dalam pemilihan presiden bulan Januari 2008.

Tumbal Politik
Sampai akhir hayatnya pertentangan Bhutto dengan dinas intelijen Pakistan memang tidak pernah surut, dan fakta memang menunjukkan intelijen Pakistan selalu berupaya menjatuhkan Bhutto, terutama dalam mengangkat kasus korupsi dimasa lalu yang melibatkan Bhutto dan suaminya.
Biro intelijen Pakistan memang dikenal menentang keras agenda-agenda Bhutto yang dianggap liberal, sekuler dan dekat dengan Amerika Serikat. Sementara kedekatan dan dukungan terhadap AS dianggap sebagai posisi yang tidak populer di Pakistan.

Disisi lain pertentangan Bhutto dengan kelompok-kelompok militan di Pakistan yang tidak menginginkan adanya pemimpin perempuan di Pakistan. Beberapa kelompok militan, seperti Taliban dan Al Qaeda yang juga menuding Bhutto sebagai kaki tangan Amerika Serikat, negara yang paling dibenci oleh kelompok-kelompok tersebut. Kelompok ini juga secara terang-terangan mengancam akan melakukan pembunuhan terhadap Bhutto.

Hidup Bhutto yang penuh dengan pertarungan dan tantangan sejak kecil itu akhirnya harus berakhir. Perempuan perkasa itu kini telah pergi sebagai tumbal politik dalam perjalanan demokrasi di negerinnya, Pakistan. Sejarah kembali mencatat bahwa perjuangan demokrasi merupakan syarat pokok bagi pergerakan demokrasi di suatu negeri. Pakistan yang demokratis tentunnya bukan lagi sekedar impian.Inilah saatnya bagi Pakistan memulai langkah baru menuju demokratisasi.Selamat jalan, Bhutto!


Resensi Buku Hukum Responsif

Judul : Hukum Responsif

Judul Asli : Law & Society in Transition: Toward Responsive Law
Penulis : Philippe Nonet dan Philip Selznick

Tebal : viii+177 hal

Penerbit : Nusamedia, Bandung

Cetakan : I, September 2007

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab

Buku Hukum Responsif yang ditulis oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick ini adalah buku klasik yang telah diterbitkan pada tahun 1978 .Buku yang berjudul asli Law & Society in Transition: Toward Responsive Law dilatarbelakangi adanya masalah- masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan itu.

Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.

Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.

Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).

Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.

Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.


Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis.
Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.

Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis

Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

Lewat buku ini, pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa.

Resensi Buku The Golkar Way


Judul : The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi

Penulis : Akbar Tandjung

Tebal : xxxviii+ hal 402

Penerbit : PT Gramedia Jakarta

Cetakan : I, November 2007

Licinnya Akbar dan Golkar

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Unila)

Buku The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi yang ditulis Oleh Akbar Tandjung awalnya adalah disertasi untuk meraih gelar Doktor Ilmu Politik di Universitas Gajah Mada. Buku ini menjadi menarik dan berbeda dibandingkan buku-buku lainnya tentang Golkar yang ditulis oleh para peneliti maupun kalangan akademisi. Menjadi menarik dan berbeda dikarenakan buku ini ditulis langsung oleh Akbar Tandjung yang notabene mantan Ketua Umum Partai Golkar dan telah 30 tahun malang-melintang di partai berlambang pohon beringin ini.

Buku ini menitikberatkan pada dinamika dan upaya survival Golkar ditengah serangan politik yang menerpannya. Seperti diketahui bersama Golkar bersama ABRI dan Birokarsi-dikenal dengan ABG- di masa lalu adalah penopang rezim orde baru yang otoriter. Golkar dituding sebagai biang keladi yang paling bertanggung jawab terhadap krisis yang menimpa negeri ini.Akbar sendiri mengakui dalam pidatonya di Munaslub Golkar tahun 1998 bahwa Golkar dimasa lalu terperosok menjadi mesin politik penguasa, alat pengumpul suara dalam Pemilu dan sekedar menjadi alat legitimasi penguasa yang otoriter (hal 98).

Dalam buku ini Akbar mencoba menjelaskan bahwasannya proses reformasi tyang ditandai dengan lengsernnya Soeharto sebagai simbol orde baru memberikan pengaruh yang cukup besar pada perkembangan Golkar sebagai the ruling party saat itu. Wajar ketika perubahan politik terjadi Golkar mendapat banyak serangan politik mulai dari tuntutan terhadap para tokoh-tokohnya atas dosa-dosa sejarah di masa lalu sampai pembubaran Golkar. Ditengah situasi sulit tersebut Golkar dibawah kepemimpinan Akbar Tandjung -politisi yang mendapat julukan “si licin” oleh News Week itu mampu bangkit dari berbagai serangan politik yang menerpannya.

Akbar jugalah yang memperkenalkan paradigma baru Golkar atau yang sering kita kenal dengan slogan ”Golkar Baru”. Transformasi Golkar menjadi Partai Golkar adalah terobosan politik yang dilakukannya untuk membangun citra baru Partai Golkar sebagai partai yang terbuka, moderat, mandiri, solid, mengakar, responsif dan demokratis. Inilah letak kelihaian strategi Akbar dan Golkar sebagai upaya survive di tengah situasi politik yang cukup kritis saat itu.Hal yang tidak bisa dibantah oleh siapapun adalah bagaimana kelihaian Akbar Tandjung sebagai seorang politisi ulung. Akbar tidak hanya mampu memimpin partai ini dari serangan pihak eksternal tapi juga mempertahankan kesolidan partai dari upaya penggembosan Golkar dari faksi dan tokoh-tokoh Golkar yang tidak puas dengan kebijakan partai yang baru.

Dibawah kepemimpinan Akbar Partai Golkar menjawab berbagai survey, riset dan ramalan dari berbagai pengamat dan lembaga yang menyatakan bahwa Golkar saat itu tengah mengalami masa surut menjelang kehancurannya. Dalam dua kali Pemilu Partai Golkar justru berhasil meraih suara yang cukup signifikan dengan bertahan di posisi kedua setelah PDIP pada Pemilu 1999 dengan raihan suara 23.741.749 (22,4%) dan meraih 120 kursi. Selanjutnya Golkar kembali bangkit dan menang pada Pemilu 2004 dengan raihan suara 24.461.104 (21,58%) dan meraih 128 kursi di DPR (hal 12).

Buku ini juga memaparkan bagaimana upaya seorang Akbar dalam membangun kembali citra Partai Golkar dan upayannya meletakan mekanisme demokratis di tubuh partai. Konvensi calon presiden yang diselenggarakan oleh Partai Golkar menjelang Pemilu tahun 2004 adalah peninggalan Akbar dalam upayannya membangun sistem kaderisasi yang demokratis di tubuh Partai Golkar.

Disertasi yang sebelum diterbitkan menjadi buku ini sempat memancing reaksi dari elit-elit Partai Golkar dengan istilah “Politik Saudagar” yang ditujukan terhadap beberapa tokoh yang memimpin Golkar saat ini. Istilah politik saudagar menurut Akbar adalah tipologi kepemimpinan yang berorientasi jangka pendek, mengedepankan spekulasi bisnis, serta cenderung tidak menghargai proses melainkan hasil. Corak kepemimpinan demikian cenderung mengabaikan pembangunan atau penguatan kelembagaan politik.


Dalam buku ini dijelaskan juga konteks dan peta kekuatan dan dukungan pada Munas VII Partai Golkar yang dianggap sebagai Munas paling panas dalam sejarah perjalanan Golkar. Dijelaskan bahwa pertarungan memperebutkan posisi Ketua Umum setidaknya melibatkan tiga kelompok besar, yaitu kelompok struktural, tradisional dan saudagar. Kelompok stuktural terdiri dari jajaran pengurus DPP Partai Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung, Kelompok Struktural terdiri dari atas beberapa Ormas pendiri Golkar, khususnya SOKSI dan Kosgoro yang memberikan dukungan kepada Wiranto. Sedangkan kelompok Saudagar, yang diwakili oleh Surya Paloh, kemudian berkoalisi mendukung Jusuf Kalla. Kelompok ini memiliki modal financial yang paling besar dalam menggalang dukungan. Selain Surya Paloh dan Jusuf Kalla, beberapa aktor penting pendukung koalisi ini adalah Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Muladi, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Ginanjar Kartasasmitha (hal 302-303).

Lewat buku ini sebenarnya Akbar juga berupaya memberikan saran kepada elit- elit Golkar agar tidak terjebak dalam kepentingan jangka pendek. Untuk itu, Akbar mengusulkan mind set politik dan paradigma yang jelas bagi Partai Golkar. Dalam buku ini Akbar banyak menuliskan tentang dirinya, gagasan perjuangan dan mimpi-mimpinya terhadap Golkar.

Buku ini mengutip Daniel S Paringga layak dijadikan referensi oleh para politisi tentang bagaimana ”resep jitu” dalam mengelola sebuah perubahan cepat ditengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Akhirnya Buku ini layak dibaca bagi siapapun yang menaruh minat untuk mempelajari proses transisi politik di negeri ini.

Politik Upah Murah

Politik Upah Murah

Oleh: Oki Hajiansyah Wahab

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana UNILA )

Kebijakan pengupahan merupakan salah satu kebijakan yang cukup penting di bidang industri dan selalu mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan, baik dari buruh maupun pengusaha. Setiap akhir tahun diberbagai daerah biasanya kita akan menyaksikan kaum buruh beramai-ramai menyerukan tuntutan kenaikan upah minimum kota atau provinsi.

Nilai kenaikan upah bagi buruh dewasa ini dirasakan sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup, dibeberapa tempat juga seringkali besaran kenaikan upah seringkali tidak disesuaikan dengan standar kebutuhan hidup layak bagi buruh. Tahun ini survey Dewan Pengupahan menyatakan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) untuk tahun 2008 adalah sebesar Rp771.848.Penetapan KHL kali ini memang meningkat dari tahun sebelumnya yakni sebesar Rp. 632.888. Kenaikan ini tentunnya tidak mengherankan ditengah laju inflasi dan kenaikan harga barang-barang di pasaran.

Kaum buruh di Lampung sendiri tentu tidak akan lupa bahwa Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bandar lampung dalam dua tahun terkahir tidak pernah mencapai 100% KHL sesuai dengan ketentuan Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 dan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Pada Tahun 2005 pemerintah menetapkan KHL untuk tahun 2006 adalah sebesar Rp.589.540 tapi kemudian UMK yang ditetapkan hanya Rp.510.000 atau hanya 86% dari KHL. Selanjutnya Tahun 2006 pemerintah menetapkan KHL tahun 2007 adalah sebesar Rp.632.888 Tapi UMK yang ditetapkan adalah Rp.560.500 atau hanya 88,56% dari KHL.

Penetapan UMK untuk tahun 2008 tampaknya juga tidak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana UMK tidak mencapai 100% seperti yang diamantkan oleh peraturan yang berlaku. Besaran KHL untuk tahun 2008 adalah sebesar Rp.771.848 tapi Dewan Pengupahan telah menetapkan UMK sebesar Rp.712.500 atau hanya 92,35%. Angka Rp712.500 tersebut merupakan angka rata-rata dari angka UMK yang diajukan lima unsur Dewan Pengupahan Kota. Serikat pekerja tetap bertahan di angka UMK sama dengan KHL Rp771.848. Angka UMK yang diajukan pemerintah Rp700 ribu; akademisi Rp765.387,Pakar Pengupahan Rp710.100 dan angka UMK yang diajukan Apindo Rp616.550 (Lampost,21 Desember 2007)

Besaran yang diajukan oleh Dewan Pengupahan kini tinggal menunggu persetujuan dari pengambil kebijakan sebelum disahkan.Uniknya, meskipun lagi-lagi UMK yang ditetapkan tidak mencapai 100% KHL, APINDO sebagai wakil pengusaha di Dewan Pengupahan menilai bahwa penetapan UMK sebesar Rp.712.500 masih terlalu besar bagi mereka.

Dalam beberapa kajian, salah satu akar persoalan dari buramnya potret perburuhan kita adalah kebijakan politik upah murah yang diterapkan oleh penguasa sejak orde baru. Buruh dianggap semata-mata sebagai faktor produksi layaknya modal, yang nilainya bisa dimainkan oleh mekanisme pasar. Suplai tenaga kerja yang terlalu besar di satu sisi dan jumlah lapangan kerja yang terbatas di sisi lain menyebabkan di atas kertas harga tenaga kerja Indonesia sudah pasti akan sangat murah.

Politik upah murah sudah pasti menjadi daya tarik bagi para investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Ditambah lagi, negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru patuh di bawah tekanan kapital. Hal ini tercermin dari sikap pemerintah yang terus berupaya menciptakan kondisi yang friendly pada modal melalui berbagai revisi perundangan yang dianggap “memusuhi” pengusaha. Ironisnya politik upah murah justru diyakini pemerintah sebagai solusi dari permasalahan investasi di Indonesia guna mengatasi jumlah pengangguran yang terus bertambah.

Rendahnya upah buruh di Indonesia bukanlah isapan jempol belaka. Merujuk pada penelitian Asia Financial News pada tahun 2001, dikatakan bahwa upah minimum yang berlaku di Indonesia jika disetarakan dengan dollar, rata-rata hanya US$ 28,2 per bulan. Sedangkan di Malaysia 1.500 ringgit atau sekitar US$ 394, di Filipina 7.370 peso atau setara dengan US$ 152, di Cina 772 yuan atau kira-kira US$ 93, Sri Langka 3.500 rupee atau sekitar US$ 43, Singapura S$2.700 atau sekitar US$ 1.630 atau sekitar Rp 16,3 juta per bulan. Bahkan TKW kita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura, gajinya sekitar Rp 1,5 juta per bulan, sementara di Indonesia hanya berkisar Rp 300-600 ribu per bulan.

Pemerintah sampai saat ini masih meyakini bahwa angka pengangguran yang semakin meningkat setiap tahunnya pangkalnya disebabkan karena investor tidak tertarik untuk menamkan investasnya di Indonesia. Hal ini tepat, tapi kemudian keliru jika pemerintah menganggap tidak datangnya investor adalah karena upah buruh yang tinggi di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) mengatakan bahwasannya hal yang paling mempengaruhi masuknya investasi adalah birokrasi yang berbelit-belit serta biaya siluman yang mengakibatkan membengkaknya biaya produksi.

Penelitian INDOC menyatakan bahwa upah buruh Indonesia saat ini memang sangat rendah, yakni hanya berkisar 5 sampai 6% dari biaya produksi. data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan upah buruh hanya menghabiskan 25 persen dari total komponen pengeluaran perusahaan. Sementara 60 persen adalah biaya produksi, sementara 15 persen lainnya adalah 'uang siluman'. Fakta juga menunjukan bahwa Brunei dan Singapura yang upah buruhnya jauh di atas upah buruh Indonesia justru menjadi sasaran utama investasi. (Ihsan Prasodjo: 2006).

Situasi pasar tenaga kerja di Indonesia saat ini memang telah terjebak dalam dilema yang pelik. Pada sisi penawaran, telah terjadi labour surplus yang ekstrim akibat supply buruh yang tinggi, seiring dengan tingginya angka pengangguran yang telah mencapai angka 42,1 juta orang. Namun demikian, upaya penerapan labour market flexibility dengan politik upah murah sebagai salah satu pilarnya bukanlah solusi yang tepat karena hal tersebut hanya akan mengorbankan kepentingan buruh.

Kekhawatiran tentang dampak cheap labour policy dan labour market flexibility juga disinggung oleh Vedy R Hadiz (2000), Modal bergerak dengan mudah dan tanpa henti terus mencari buruh murah dan lemah di Indonesia. Segala hal telah tereduksi menjadi hanya sebatas persoalan untung-rugi, dengan menelantarkan persoalan kemanusian. Penerapan fleksibilitas tenaga kerja dan politik upah murah itu dapat dipastikan hanya akan bemuara pada situasi dimana ekspolitasi terhadap buruh semakin meningkat ditengah beban hidup yang tinggi.

Dalam situasi ini buruh hanya menjadi objek kepentingan politik penguasa dan pengusaha. Posisi buruh selama ini sekadar penjual tenaga kerja.Sementara posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi jalannya proses produksi. Parahnya bukan hanya upah yang rendah, tetapi serngkali juga hak-hak normatif lainnya, jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua kaum buruh ikut diabaikan.

Pertanyaanya kemudian adalah apakah dengan kondisi seperti ini, pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan politik upah murah seperti yang diinginkan oleh para investor, atau justru sebaliknya, pemerintah akan lebih memperhatikan hak-hak buruh dalam memperoleh kesejahteraannya?. Satu hal yang pasti adalah bahwa upah buruh yang rendah pastinnya berkorelasi dengan meningkatnya angka kemiskinan

Walaupun bukan satu-satunya cara, kenaikan upah adalah salah satu upaya untuk meningkatkan ekonomi kaum buruh. Tapi, kenaikan itu akan lebih berarti lagi jika diikuti dengan upaya dari pemerintah untuk mengendalikan harga-harga sebagai dampak dari kenaikan upah tersebut. Sebab, apalah artinya kenaikan upah bila kemudian diikuti dengan kenaikan harga. Tentunya kita semua berharap pemerintah akan jauh lebih arif karena sudah semestinya negara hadir untuk melindungi kepentingan kaum buruh sebagai jawaban atas kenyataan bahwa pemilik modal selalu lebih berkuasa daripada buruh. Tahun ini juga kita semua berharap buruh akan mendapatkan hak atas upah yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya.

.


Keterpurukan Buruh

Keterpurukan Buruh

(Catatan atas Penetapan UMK 2008)

Oleh: Juniardi dan Oki Hajiansyah Wahab
(Mahasiswa S2 UNILA )

Kebijakan pengupahan selalu mengundang polemik setiap tahunnya, setiap tahunnya pula dewan pengupahan bergulat masalah upah. Dalam hubungan industrial, kedudukan upah minimum merupakan persoalan yang cukup prinsip.
Upah merupakan wujud konkret dari sebuah bentuk pertukaran yang terjadi antara buruh dan pengusaha.Buruh menyediakan tenaga untuk proses produksi dengan menggunakan alat-alat produksi sementara pengusaha memperoleh keuntungan dari kepemilikan pengelolaan alat produksinya.

Upah Minimum harus dilihat sebagai bagian dari sistem pengupahan secara menyeluruh. ILO sendiri dalam Report of the Meeting of Experts of 1967 juga menyatakan bahwa upah minimum didefinisikan sebagai upah yang memperhitungkan kecukupan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan hiburan bagi pekerja serta keluarganya sesuai dengan perkembangan ekonomi dan budaya di tiap negara.

UU Ketenangakerjaan Nomor 13 tahun 2003 secara jelas telah mengamanatkan bahwa upah minimum harus didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Upah yang 100% KHL juga diperkuat dalam Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005. Upaya meminimalisasi perdebatan penetapan upah minimum yang dilakukan pemerintah lewat survey KHL coba dilakukan bersama oleh perwakilan pengusaha, serikat pekerja, pemerintah dan kalangan akademisi untuk menetapkan besaran angka KHL.

Tapi fakta mengatakan seringkali upah yang ditetapkan tidak sesuai dengan penetapan angka KHL. Nilai kenaikan upah bagi buruh dewasa ini dirasakan sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup, dibeberapa tempat besaran kenaikan upah seringkali tidak sesuai dengan besaran KHL yang ditetapkan . Di Bandar lampung sendiri contohnya selama bertahun-tahun buruh tidak pernah mendapatkan hak atas upah yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya. Tahun ini hanyaUMK Kabupaten Lampung tengah yang memenuhi 100% KHL yakni sebesar Rp.625.000.

Tiga tahun terakhir Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bandar lampung tidak pernah mencapai 100% KHL sesuai dengan ketentuan Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 dan UU Ketenagakerjaan. Pada Tahun 2005, KHL yang ditetapkan untuk tahun 2006 adalah sebesar Rp.589.540 tapi kemudian UMK yang ditetapkan hanya Rp.510.000 atau hanya 86% dari KHL. Selanjutnya Tahun 2006, KHL yang ditetapkan untuk tahun 2007 adalah sebesar Rp.632.888 tapi UMK yang ditetapkan adalah Rp.560.500 atau hanya 88,56% dari KHL. Kemudian usulan KHL untuk tahun 2008 ditetapkan sebesar Rp.712.500, tapi lagi-lagi upah yang ditetapkan hanya Rp. 627.500 atau sekitar 88% dari KHL.

Kenaikan Upah tiap tahunnya juga amatlah kecil, Untuk tahun 2008 hanya naik Rp.67.000 dari besaran upah tahun 2007 sebesar Rp.560.500, Upah tahun 2007 juga hanya naikRp.50 ribu dari upah tahun 2006 sebesar 510.000. Jika senantiasa demikian, yang menjadi pertanyaan adalah apa fungsi survey KHL ketika besaran upah yang ditetapkan tidak pernah sesuai dengan besaran KHL seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Meskipun standar dan item dasar perhitungan upah minimum selalu menjadi hal yang selalu diperdebatkan, hasil Survey KHL seharusnya menjadi dasar bagi penentuan upah.

Cheap Labor Policy

Konsepsi hubungan industrial yang dikedepankan pemerintah beberapa tahun terakhir ini cenderung mengarah pada gagasan-gagasan bipartisme. Arahan inilah yang mempersempit ruang bagi forum tripartit. Bipartisme dalah penerjemahan dari konsepsi neo-liberal dalam hubungan industrial. Konsep ini dituangkan dalam berbagai kebijakan yang berorientasi pada penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Liberalisasi dalam hubungan industrial melalui penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel berarti pengurangan peranan pemerintah dalam urusan perburuhan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar.

Dengan cara itu, upah sebagai harga tenaga kerja buruh akan ditentukan oleh hukum besi pasar bebas, yakni keseimbangan antara penawaran-permintaan. Suplai tenaga kerja yang terlalu besar di satu sisi dan permintaan akan tenaga kerja yang stagnan di sisi lain menyebabkan di atas kertas harga tenaga kerja Indonesia sudah pasti akan sangat murah. Dengan cara itu, akan ditangkap kesan adanya iklim kebijakan “buruh murah” yang diharapkan daya saing Indonesia guna menarik investasi asing.

Niat pemerintah untuk mendorong liberalisasi dalam pasar tenaga kerja Indonesia tercermin dari sikap pemerintah yang terus berupaya menciptakan kondisi yang friendly pada modal melalui berbagai revisi perundangan yang dianggap “memusuhi” pengusaha. Hal ini secara lugas dituangkan dalam Perpes nomor 7/2004 tentang RRPJMN, khususnya pada Bab 22 tentang Ketenagakerjaan. Dalam perpres tersebut, pemerintah memperkuat dorongan fleksibilisasi pasar tenaga kerja yang notabene berdampak pada buruknya upah bagi para buruh.

Nasib Buruh?

Kondisi kaum buruh di negeri ini semakin terpinggirkan, tertindas dan tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hampir semua buruh di Indonesia tidak mendapatkan penghasilan cukup bagi dirinya dan keluarganya untuk hidup di atas garis kemiskinan. Walaupun bukan satu-satunya cara, kenaikan upah adalah salah satu upaya untuk meningkatkan ekonomi kaum buruh ditengah kenaikan harga-harga.

Politik upah murah sudah pasti menjadi daya tarik bagi para investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Ironisnya negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru patuh di bawah tekanan modal. Sementara posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi jalannya proses produksi. Kondisi ini diperparah dengan promosi pemerintah tentang murahnya tenaga kerja Indonesia yang didasarkan oleh asumsi bahwa investor dapat memiliki tenaga kerja yang murah dengan keterampilan yang dapat bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain. Pola pikir semacam ini sudah sepatutnya dibuang jauh-jauh karena hanya akan berakibat pada semakin terekploitasinya potensi sumber daya manusia sebagai tenaga kerja yang murah

Pemerintah seharusnya memahami kembali cita-cita awal konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 27 (ayat 2), yang menyuratkan bahwa negara menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di sini, pemerintah punya tanggung jawab besar dalam mengkonsolidasikan bangsa ini, dengan cara menata dan memperbaiki ketegangan hubungan antara pengusaha dan buruh yang timpang. Janji upah sesuai KHL ternyata masihlah sebatas ilusi pemerintah untuk meredam gejolak kaum buruh.

Pemerintah harus segera mengubah kebijakannya dalam menilai potensi sumber daya manusia, terutama dalam konteks buruh. Buruh bukan lagi tenaga kerja murah dan eksploitatif. Buruh harus dibayar secara proporsional, sesuai dengan beban kerja dan keterampilan yang dimilikinya. Mengutip Isaiah Berlin, “freedom for wolfes means death for the sheep”. Kebebasan dan keleluasaan bagi pengusaha adalah ancaman bagi kepentingan yang konkret bagi buruh.

Impor Beras dan Mimpi Buruk Kaum Tani

Impor Beras dan Mimpi Buruk Kaum Tani

(Refleksi Peringatan Hari Tani Nasional ke 46)

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab S.Ip

(Komite Pendidikan AGRA Wilayah Lampung)

Pada era Orde Baru, yaitu sekitar tahun 1960-an hingga awal 1990-an Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil mengantar sektor pertanian—terutama beras—dari jurang kekurangan menuju swasembada. Pemenuhan kebutuhan sendiri ini berlangsung pada era 1980-an. Bahkan pada tahun 1980 hingga tahun 1985 Indonesia adalah net-eksportir beras. Hal ini terjadi karena model revolusi hijau yang digalakkan pemerintah Orde Baru mulai tahun 1970-an.

Namun dampak dari revolusi hijau ternyata membuat ketergantungan pada input pertanian modern yang dianjurkannya. Kejadian ini persis terjadi hingga saat ini, pada proyeksi pertanian Indonesia yang cenderung monokultur (terutama bergantung pada beras), terdorong menggunakan teknologi; namun merugikan, yakni penggunaan pestisida dan pupuk kimia, dan lain sebagainya. Ketergantungan inilah yang mengakibatkan petani di Indonesia pada akhirnya tidak dapat lagi menemukan margin dari input yang diperlukan dan hasil yang diperoleh Mahalnya biaya pupuk, pestisida, tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh. Ironisnya hal ini juga berlangsung hingga sekarang.

Yang tidak berlangsung hingga hari ini adalah subsidi dan bantuan pemerintah yang diberikan kepada sektor pertanian. Tercatat pada era Orde Baru ini, 725 juta dollar AS (sekitar 7,25 trilyun rupiah) dialokasikan untuk membantu sektor pertanian. Kini setelah liberalisasi perdagangan diterapkan, sektor pertanian pun diserahkan oleh pemerintah kepada pasar, dan subsidi dihilangkan.

Hal inilah yang membuat petani semakin merana. Setelah subsidi dikurangi, WTO terus menekan pemerintah Indonesia untuk meliberalisasi perdagangannya. Hal ini berakibat semakin terbukanya investasi dari luar dalam sektor pertanian. Pupuk, pestisida dan industri pertanian pada akhirnya bobol dan dikuasai oleh pedagang-pedagang besar. Lihat saja kasus pada produksi dan distribusi pupuk dan pestisida, contohnya. Pasar dunia kini dikuasai oleh korporasi transnasional raksasa, seperti Monsanto dan Syngenta. Hal yang sama berlaku di Indonesia saat ini akibat AoA WTO. Pengurangan subsidi ini diatur dalam domestic support AoA.

Pembukaan pasar domestik oleh WTO dengan gampang diwakili oleh kebijakan pemerintah membuka keran impor, terutama impor beras. Indonesia menjadi net importir beras semenjak tahun 1988, dan merupakan salah satu pengimpor beras terbesar di dunia. Faktanya, Indonesia mengimpor hampir 50% stok beras dunia. Pada dekade lahirnya WTO (1990-1999) Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun, dan fenomena ini berlangsung hingga tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor sebesar 1,5 juta ton (kedua terbesar di dunia) atau 40% dari konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai sebesar 1,3 juta ton (terbesar di dunia) yang menutup 45% konsumsi kedelai nasional. Sedangkan volume impor untuk jagung berjumlah tidak kurang dari 1 juta ton. Sementara, jangan lupa bahwa Indonesia juga terus mengimpor buah-buahan, sayur dan macam-macam seperti apel, jeruk, pir, kentang, bawang, dan lain-lain.

Politik Impor Beras
Dalam kasus pertanian umumnya beras, lembaga-lembaga internasional selalu menyalahkan pemerintah Indonesia atas harga-harga bahan pokok yang naik. Dengan demikian sesuai dengan pembukaan pasar domestik, maka kasus impor beras Indonesia adalah dengan alasan untuk mengurangi harga bahan pangan, yang akan diikuti oleh harga komoditi lain. Peran perlindungan negara juga ditiadakan dengan mengubah BULOG menjadi perusahaan, sehingga peran organisasi ini dalam melindungi pasar domestik dikebiri.

Lalu dengan dibukanya keran impor beras, pemerintah Indonesia tidak memikirkan nasib petani dan perlindungan terhadap harga di pasar domestik. Tercatat harga domestik perlahan-lahan hancur, dan pendapatan petani semakin berkurang. Akhirnya sektor pertanian di Indonesia menjadi sektor yang tidak menguntungkan, dan petani banyak yang menderita kerugian. Kebijakan WTO yang membunuh petani dan menyengsarakan rakyat Indonesia tersebut berlangsung hingga hari ini.

Era liberalisasi perdagangan juga berdampak sangat buruk bagi petani beras. Dengan diberlakukannya AoA WTO dan impor beras, produksi beras di Indonesia terancam karena rendahnya harga di pasar domestik dan kurangnya subsidi dan perlindungan pemerintah terhadap harga tersebut. Sementara para petani berjuang untuk bertahan dalam sektor ini, dan implementasi AoA membuat harga asli beras semakin berkurang, yang memaksa petani beras keluar dari sektor ini dan beralih ke sektor lain yang diangbgap lebih menguntungkan. Menteri Pertanian bahkan menyatakan Bahkan dia tidak malu menyatakan bahwa jika Indonesia tidak melakukan impor beras, Indonesia bisa disalahkan oleh Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). Dalam soal swasembada beras, Mentan juga menyatakan bahwa sebenarnya, yang dimaksud dengan swasembada beras bukan berarti bahwa produksi beras dalam negeri telah mampu mencukupi 100% kebutuhan beras dalam negeri. Produksi beras dalam negeri yang telah mampu memenuhi 90-95 persen kebutuhan beras dalam negeri bisa dikatakan swasembada. Pernyataan ini jelas-jelas merupakan pengertian yang dikaburkan dan disesatkan demi membangun sejumlah alasan agar rencana impor beras tidak mendapat tentangan.


Walaupun terlihat menguntungkan bagi konsumen miskin, impor beras yang membuat harga beras murah ternyata memusnahkan subsidi bagi input pertanian dan perlindungan lain di sektor pertanian. Hal ini berarti biaya produksi bagi petani padi semakin membengkak, dan menyengsarakan mereka. Dengan membengkaknya biaya produksi, maka upaya untuk mempertahankan produksi padi juga semakin menurun, akibatnya jumlah padi yang dihasilkan juga semakin sedikit.

Mimpi Buruk Kaum Tani

Bulan September, bagi petani padi merupakan masa panen kedua, dengan harapan hasil panen kali ini akan memperoleh hasil yang lebih baik secara finansial. Mengingat bahwa pada saat pananaman, beban dari biaya produksi yang meliputi biaya pengolahan lahan, pengadaan benih, obat-obatan, biaya penanaman padi serta biaya saat panen, sebagian besar bahkan seringkali seluruh biaya tersebut berasal dari pinjaman. Yang menurut kebiasan petani pula, sejumlah biaya yang berupa hutang tersebut harus dibayar pada saat musim panen tiba. Harapan ini semakin kuat, ketika beberapa wilayah menunjukkan hasil produksi musim panen II mengalami peningkatan, semisal beberapa petani menyatakan bahwa setiap 7000 meter persegi lahan yang ditanami padi bisa menghasilkan sejumlah 4 ton gabah kering panen (GKP). Hasil yang bisa diperoleh tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan musim panen sebelumnya, yang tidak akan bisa memperoleh angka tersebut. Bila harga, mengalami kenaikan maka bisa dipastikan bahwa hasil yang bisa diperoleh juga akan meningkat. Namun, di sejumlah wilayah harga gabah kering panen mengalami penurunan hingga Rp. 1700, bahkan ada yang lebih rendah dari harga tersebut, yaitu sebesar Rp. 1500 per kilogram gabah kering panen. Sebab pertama atas penurunan harga ini, dikarenakan musim panen II yang waktunya berlangsung bersamaan di sejumlah wilayah, sehingga memungkinkan para spekulan pedagang beras memainkan harga di pasaran, selain itu, juga tidak adanya perlindungan pemerintah dalam bentuk penetapan kenaikan harga dasar gabah kering panen dan gabah kering giling. Bulog yang merupakan satu institusi yang paling bertanggungjawab atas pembelian gabah/ beras dari petani tidak menjalankan fungsinya secara baik.

Ditengah situasi yang demikian, kaum tani yang memproduksi padi, dihadapkan pada rencana pemerintah untuk melakukan kembali impor beras dengan berbagai alasan yang sepenuhnya tidak masuk akal. Dimana, pemerintah baru-baru ini telah menyetujui impor beras sebesar 210.000 ton dari negara lain. Dalam pernyataannya, Bulog menyampaikan bahwa impor beras ini akan digunakan untuk menambah cadangan beras pemerintah di Bulog yang masih mengalami kekurangan sebesar 350.000 ton akibat tersedot untuk bantuan bencana dan operasi pasar. Mengenai asal negara tidak akan dipermasalahkan, dengan kata lain Bulog tidak akan membatasi negara asal impor beras. Dikarenakan Bulog akan menentukan pemasoknya melalui proses tender. Sementara dasar penentuan kualitas beras impor akan mengacu pada Inpres No 13 Th 2005 tentang Kebijakan Perberasan. “dasarnya bukan asal daerah”. Dalam Inpres ini, disebutkan bahwa beras yang di beli Bulog harus memiliki butir patah maksimal 20%, kotoran (diluar beras) maksimal 0,02%, dan kadar air maksimal 14% serta campuran beras lain dipatok maksimal 5%. Sedangkan, anggaran untuk impor beras, menurut Deputi Menteri koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krismamurti, berasal dari APBN Perubahan 2006 sebesar 390 miliar rupiah.

Meski mendapat reaksi penolakan dari beberapa daerah atas rencana impor beras tersebut, pemerintah tetap teguh pada niatnya melakukan impor beras dan menyatakan secara membabi buta bahwa, walaupun Indonesia telah bisa swasembada beras, tetap saja Indonesia perlu mengimpor beras. Hal ini ditujukan untuk menjamin stok beras dalam negeri, menstabilkan harga dan demi politik perdagangan internasional.

Sementara itu, beberapa daerah yang menyatakan penolakannya terhadap masuknya impor beras ke daerahnya bukanlah sekedar penolakan dalam retorika semata. Beberapa daerah tersebut kenyataannya mengalami surplus produksi beras, sehinggga tidak perlu mengimpor beras. Dari produksi beras yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan daerahnya bahkan mengalami kelebihan sehinggga bisa mengamankan cadangan beras untuk beberapa bulan kedepan hingga musim panen berikutnya. Daerah-daerah tersebut, misal saja dapat disebutkan, diantaranya Sumatera Utara. Berdasar data dinas pertanian Sumatera Utara surplus beras lebih dari 400.000 ton; kabupaten Batang menyatakan surplus berasnya lebih dari 20.000 ton. Begitu juga dengan beberapa daerah lain. Sehingga alasan pemerintah pusat bahwa impor beras diperlukan karena stok beras nasional mengalami kekurangan akibat tersedot bantuan bencana alam dan operasi pasar, sesungguhnya merupakan alasan yang tidak masuk akal. Karena sejumlah kebutuhan tersebut sebenarnya mampu disediakan sendiri dari produksi beras nasional. Sedangkan untuk harga beras dan harga gabah petani, seharusnya pemerintah menetapkan dan mengontrol harga dasar gabah. Dengan demikian, kaum tani terutama yang memproduksi padi/beras akan mendapat perlindungan dari situasi tersebut.

Dengan demikian, sudah pasti bahwa tingkat kesejahteraan kaum tani dan keluarganya akan menurun secara hebat. Selain itu, kebijakan tersebut juga menunjukkan bagaimana sesungguhnya watak pemerintahan SBY-JK secara umum. Pemerintahan SBY-JK senyatanya lebih mengedepankan kepentingan kaum pedagang spekulan yang selama ini memonopoli perdagangan yang jelas-jelas merugikan dan menyulitkan kehidupan kaum tani dan rakyat Indonesia.

Berbagai alasan yang dikemukan untuk memperkuat rencana impor beras, senyatanya bukanlah jawaban yang mampu memecahkan secara mendasar atas problem-problem kaum tani Indonesia. Sesungguhnya, tingkat ketersediaan beras sebagai salah satu segi bagi ukuran ketahanan pangan di Indonesia, hanya bisa dipecahkan jika akar problem kaum tani dapat diatasi. Sejumlah gejala munculnya krisis beras dan krisis pangan beberapa waktu lalu di Indonesia sangat terkait erat sebabnya dengan soal-soal belum adanya penataan secara mendasar di lapangan agraria. Ketimpangan pada struktur penguasaan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria yang menyebabkan terkonsentrasikannya penguasaan dan kepemilikan merupakan faktor terpenting bagi rendahnya bahkan hilangnya akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria. Oleh karennya, kaum tani kemudian tidak bisa memanfaatkan lahan/tanah yang ada bagi budidaya pertanian, dalam hal ini produksi padi/beras.

Oleh karenanya, jawaban yang mendesak untuk mengatasi ancaman kekurangan kebutuhan sekaligus menyediakan cadangan bahan pangan/beras nasional bukan dengan kebijakan impor beras. Namun, yang dibutuhkan bagi nagara ini adalah melakukan penataan ulang struktur penguasaan, kepemilikan, pemanfaatan dan peruntukan atas sumber-sumber agraria yang ada. Yang selanjutnya penataan ulang tersebut akan menjadi fondasi bagi pembangunan industri nasional yang kokoh serta bagi pengaturan sistem perdagangan nasional dan internasional yang mengabdi pada orientasi kepentingan atau kebutuhan nasional. Keseluruhan upaya yang sistematis tersebut diatas inilah yang dimaksud dengan agenda Reforma Agraria. Satu agenda nasional yang mendesak serta memerlukan usaha besar dan sungguh-sungguh dari seluruh rakyat Indonesia untuk mewujudkannya. Yang bertujuan membangun satu tatanan agraria yang adil yang didalamnya tidak mengandung watak penghisapan dan penindasan manusia atas manusia .