Senin, 03 Maret 2008

Impor Beras dan Mimpi Buruk Kaum Tani

Impor Beras dan Mimpi Buruk Kaum Tani

(Refleksi Peringatan Hari Tani Nasional ke 46)

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab S.Ip

(Komite Pendidikan AGRA Wilayah Lampung)

Pada era Orde Baru, yaitu sekitar tahun 1960-an hingga awal 1990-an Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil mengantar sektor pertanian—terutama beras—dari jurang kekurangan menuju swasembada. Pemenuhan kebutuhan sendiri ini berlangsung pada era 1980-an. Bahkan pada tahun 1980 hingga tahun 1985 Indonesia adalah net-eksportir beras. Hal ini terjadi karena model revolusi hijau yang digalakkan pemerintah Orde Baru mulai tahun 1970-an.

Namun dampak dari revolusi hijau ternyata membuat ketergantungan pada input pertanian modern yang dianjurkannya. Kejadian ini persis terjadi hingga saat ini, pada proyeksi pertanian Indonesia yang cenderung monokultur (terutama bergantung pada beras), terdorong menggunakan teknologi; namun merugikan, yakni penggunaan pestisida dan pupuk kimia, dan lain sebagainya. Ketergantungan inilah yang mengakibatkan petani di Indonesia pada akhirnya tidak dapat lagi menemukan margin dari input yang diperlukan dan hasil yang diperoleh Mahalnya biaya pupuk, pestisida, tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh. Ironisnya hal ini juga berlangsung hingga sekarang.

Yang tidak berlangsung hingga hari ini adalah subsidi dan bantuan pemerintah yang diberikan kepada sektor pertanian. Tercatat pada era Orde Baru ini, 725 juta dollar AS (sekitar 7,25 trilyun rupiah) dialokasikan untuk membantu sektor pertanian. Kini setelah liberalisasi perdagangan diterapkan, sektor pertanian pun diserahkan oleh pemerintah kepada pasar, dan subsidi dihilangkan.

Hal inilah yang membuat petani semakin merana. Setelah subsidi dikurangi, WTO terus menekan pemerintah Indonesia untuk meliberalisasi perdagangannya. Hal ini berakibat semakin terbukanya investasi dari luar dalam sektor pertanian. Pupuk, pestisida dan industri pertanian pada akhirnya bobol dan dikuasai oleh pedagang-pedagang besar. Lihat saja kasus pada produksi dan distribusi pupuk dan pestisida, contohnya. Pasar dunia kini dikuasai oleh korporasi transnasional raksasa, seperti Monsanto dan Syngenta. Hal yang sama berlaku di Indonesia saat ini akibat AoA WTO. Pengurangan subsidi ini diatur dalam domestic support AoA.

Pembukaan pasar domestik oleh WTO dengan gampang diwakili oleh kebijakan pemerintah membuka keran impor, terutama impor beras. Indonesia menjadi net importir beras semenjak tahun 1988, dan merupakan salah satu pengimpor beras terbesar di dunia. Faktanya, Indonesia mengimpor hampir 50% stok beras dunia. Pada dekade lahirnya WTO (1990-1999) Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun, dan fenomena ini berlangsung hingga tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor sebesar 1,5 juta ton (kedua terbesar di dunia) atau 40% dari konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai sebesar 1,3 juta ton (terbesar di dunia) yang menutup 45% konsumsi kedelai nasional. Sedangkan volume impor untuk jagung berjumlah tidak kurang dari 1 juta ton. Sementara, jangan lupa bahwa Indonesia juga terus mengimpor buah-buahan, sayur dan macam-macam seperti apel, jeruk, pir, kentang, bawang, dan lain-lain.

Politik Impor Beras
Dalam kasus pertanian umumnya beras, lembaga-lembaga internasional selalu menyalahkan pemerintah Indonesia atas harga-harga bahan pokok yang naik. Dengan demikian sesuai dengan pembukaan pasar domestik, maka kasus impor beras Indonesia adalah dengan alasan untuk mengurangi harga bahan pangan, yang akan diikuti oleh harga komoditi lain. Peran perlindungan negara juga ditiadakan dengan mengubah BULOG menjadi perusahaan, sehingga peran organisasi ini dalam melindungi pasar domestik dikebiri.

Lalu dengan dibukanya keran impor beras, pemerintah Indonesia tidak memikirkan nasib petani dan perlindungan terhadap harga di pasar domestik. Tercatat harga domestik perlahan-lahan hancur, dan pendapatan petani semakin berkurang. Akhirnya sektor pertanian di Indonesia menjadi sektor yang tidak menguntungkan, dan petani banyak yang menderita kerugian. Kebijakan WTO yang membunuh petani dan menyengsarakan rakyat Indonesia tersebut berlangsung hingga hari ini.

Era liberalisasi perdagangan juga berdampak sangat buruk bagi petani beras. Dengan diberlakukannya AoA WTO dan impor beras, produksi beras di Indonesia terancam karena rendahnya harga di pasar domestik dan kurangnya subsidi dan perlindungan pemerintah terhadap harga tersebut. Sementara para petani berjuang untuk bertahan dalam sektor ini, dan implementasi AoA membuat harga asli beras semakin berkurang, yang memaksa petani beras keluar dari sektor ini dan beralih ke sektor lain yang diangbgap lebih menguntungkan. Menteri Pertanian bahkan menyatakan Bahkan dia tidak malu menyatakan bahwa jika Indonesia tidak melakukan impor beras, Indonesia bisa disalahkan oleh Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). Dalam soal swasembada beras, Mentan juga menyatakan bahwa sebenarnya, yang dimaksud dengan swasembada beras bukan berarti bahwa produksi beras dalam negeri telah mampu mencukupi 100% kebutuhan beras dalam negeri. Produksi beras dalam negeri yang telah mampu memenuhi 90-95 persen kebutuhan beras dalam negeri bisa dikatakan swasembada. Pernyataan ini jelas-jelas merupakan pengertian yang dikaburkan dan disesatkan demi membangun sejumlah alasan agar rencana impor beras tidak mendapat tentangan.


Walaupun terlihat menguntungkan bagi konsumen miskin, impor beras yang membuat harga beras murah ternyata memusnahkan subsidi bagi input pertanian dan perlindungan lain di sektor pertanian. Hal ini berarti biaya produksi bagi petani padi semakin membengkak, dan menyengsarakan mereka. Dengan membengkaknya biaya produksi, maka upaya untuk mempertahankan produksi padi juga semakin menurun, akibatnya jumlah padi yang dihasilkan juga semakin sedikit.

Mimpi Buruk Kaum Tani

Bulan September, bagi petani padi merupakan masa panen kedua, dengan harapan hasil panen kali ini akan memperoleh hasil yang lebih baik secara finansial. Mengingat bahwa pada saat pananaman, beban dari biaya produksi yang meliputi biaya pengolahan lahan, pengadaan benih, obat-obatan, biaya penanaman padi serta biaya saat panen, sebagian besar bahkan seringkali seluruh biaya tersebut berasal dari pinjaman. Yang menurut kebiasan petani pula, sejumlah biaya yang berupa hutang tersebut harus dibayar pada saat musim panen tiba. Harapan ini semakin kuat, ketika beberapa wilayah menunjukkan hasil produksi musim panen II mengalami peningkatan, semisal beberapa petani menyatakan bahwa setiap 7000 meter persegi lahan yang ditanami padi bisa menghasilkan sejumlah 4 ton gabah kering panen (GKP). Hasil yang bisa diperoleh tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan musim panen sebelumnya, yang tidak akan bisa memperoleh angka tersebut. Bila harga, mengalami kenaikan maka bisa dipastikan bahwa hasil yang bisa diperoleh juga akan meningkat. Namun, di sejumlah wilayah harga gabah kering panen mengalami penurunan hingga Rp. 1700, bahkan ada yang lebih rendah dari harga tersebut, yaitu sebesar Rp. 1500 per kilogram gabah kering panen. Sebab pertama atas penurunan harga ini, dikarenakan musim panen II yang waktunya berlangsung bersamaan di sejumlah wilayah, sehingga memungkinkan para spekulan pedagang beras memainkan harga di pasaran, selain itu, juga tidak adanya perlindungan pemerintah dalam bentuk penetapan kenaikan harga dasar gabah kering panen dan gabah kering giling. Bulog yang merupakan satu institusi yang paling bertanggungjawab atas pembelian gabah/ beras dari petani tidak menjalankan fungsinya secara baik.

Ditengah situasi yang demikian, kaum tani yang memproduksi padi, dihadapkan pada rencana pemerintah untuk melakukan kembali impor beras dengan berbagai alasan yang sepenuhnya tidak masuk akal. Dimana, pemerintah baru-baru ini telah menyetujui impor beras sebesar 210.000 ton dari negara lain. Dalam pernyataannya, Bulog menyampaikan bahwa impor beras ini akan digunakan untuk menambah cadangan beras pemerintah di Bulog yang masih mengalami kekurangan sebesar 350.000 ton akibat tersedot untuk bantuan bencana dan operasi pasar. Mengenai asal negara tidak akan dipermasalahkan, dengan kata lain Bulog tidak akan membatasi negara asal impor beras. Dikarenakan Bulog akan menentukan pemasoknya melalui proses tender. Sementara dasar penentuan kualitas beras impor akan mengacu pada Inpres No 13 Th 2005 tentang Kebijakan Perberasan. “dasarnya bukan asal daerah”. Dalam Inpres ini, disebutkan bahwa beras yang di beli Bulog harus memiliki butir patah maksimal 20%, kotoran (diluar beras) maksimal 0,02%, dan kadar air maksimal 14% serta campuran beras lain dipatok maksimal 5%. Sedangkan, anggaran untuk impor beras, menurut Deputi Menteri koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krismamurti, berasal dari APBN Perubahan 2006 sebesar 390 miliar rupiah.

Meski mendapat reaksi penolakan dari beberapa daerah atas rencana impor beras tersebut, pemerintah tetap teguh pada niatnya melakukan impor beras dan menyatakan secara membabi buta bahwa, walaupun Indonesia telah bisa swasembada beras, tetap saja Indonesia perlu mengimpor beras. Hal ini ditujukan untuk menjamin stok beras dalam negeri, menstabilkan harga dan demi politik perdagangan internasional.

Sementara itu, beberapa daerah yang menyatakan penolakannya terhadap masuknya impor beras ke daerahnya bukanlah sekedar penolakan dalam retorika semata. Beberapa daerah tersebut kenyataannya mengalami surplus produksi beras, sehinggga tidak perlu mengimpor beras. Dari produksi beras yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan daerahnya bahkan mengalami kelebihan sehinggga bisa mengamankan cadangan beras untuk beberapa bulan kedepan hingga musim panen berikutnya. Daerah-daerah tersebut, misal saja dapat disebutkan, diantaranya Sumatera Utara. Berdasar data dinas pertanian Sumatera Utara surplus beras lebih dari 400.000 ton; kabupaten Batang menyatakan surplus berasnya lebih dari 20.000 ton. Begitu juga dengan beberapa daerah lain. Sehingga alasan pemerintah pusat bahwa impor beras diperlukan karena stok beras nasional mengalami kekurangan akibat tersedot bantuan bencana alam dan operasi pasar, sesungguhnya merupakan alasan yang tidak masuk akal. Karena sejumlah kebutuhan tersebut sebenarnya mampu disediakan sendiri dari produksi beras nasional. Sedangkan untuk harga beras dan harga gabah petani, seharusnya pemerintah menetapkan dan mengontrol harga dasar gabah. Dengan demikian, kaum tani terutama yang memproduksi padi/beras akan mendapat perlindungan dari situasi tersebut.

Dengan demikian, sudah pasti bahwa tingkat kesejahteraan kaum tani dan keluarganya akan menurun secara hebat. Selain itu, kebijakan tersebut juga menunjukkan bagaimana sesungguhnya watak pemerintahan SBY-JK secara umum. Pemerintahan SBY-JK senyatanya lebih mengedepankan kepentingan kaum pedagang spekulan yang selama ini memonopoli perdagangan yang jelas-jelas merugikan dan menyulitkan kehidupan kaum tani dan rakyat Indonesia.

Berbagai alasan yang dikemukan untuk memperkuat rencana impor beras, senyatanya bukanlah jawaban yang mampu memecahkan secara mendasar atas problem-problem kaum tani Indonesia. Sesungguhnya, tingkat ketersediaan beras sebagai salah satu segi bagi ukuran ketahanan pangan di Indonesia, hanya bisa dipecahkan jika akar problem kaum tani dapat diatasi. Sejumlah gejala munculnya krisis beras dan krisis pangan beberapa waktu lalu di Indonesia sangat terkait erat sebabnya dengan soal-soal belum adanya penataan secara mendasar di lapangan agraria. Ketimpangan pada struktur penguasaan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria yang menyebabkan terkonsentrasikannya penguasaan dan kepemilikan merupakan faktor terpenting bagi rendahnya bahkan hilangnya akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria. Oleh karennya, kaum tani kemudian tidak bisa memanfaatkan lahan/tanah yang ada bagi budidaya pertanian, dalam hal ini produksi padi/beras.

Oleh karenanya, jawaban yang mendesak untuk mengatasi ancaman kekurangan kebutuhan sekaligus menyediakan cadangan bahan pangan/beras nasional bukan dengan kebijakan impor beras. Namun, yang dibutuhkan bagi nagara ini adalah melakukan penataan ulang struktur penguasaan, kepemilikan, pemanfaatan dan peruntukan atas sumber-sumber agraria yang ada. Yang selanjutnya penataan ulang tersebut akan menjadi fondasi bagi pembangunan industri nasional yang kokoh serta bagi pengaturan sistem perdagangan nasional dan internasional yang mengabdi pada orientasi kepentingan atau kebutuhan nasional. Keseluruhan upaya yang sistematis tersebut diatas inilah yang dimaksud dengan agenda Reforma Agraria. Satu agenda nasional yang mendesak serta memerlukan usaha besar dan sungguh-sungguh dari seluruh rakyat Indonesia untuk mewujudkannya. Yang bertujuan membangun satu tatanan agraria yang adil yang didalamnya tidak mengandung watak penghisapan dan penindasan manusia atas manusia .

1 komentar:

Cerita Mang Eko mengatakan...

wah lumanayan tulisanana mah bisa dibaca kusararea. ngomong2 gimana buat blog teh/ BEJAAN ATUH. smoga sukses terus mendidik massa rakyat dalam sebuah org tani yang perfect