Senin, 03 Maret 2008

Urgensi UUPA Bagi Kaum Tani

Urgensi UUPA Bagi Kaum Tani

(Memperingati 47 Tahun Lahirnya UUPA)

Oleh: Oki Hajiansyah Wahab (Mahasiswa S2 UNILA)

Tak terasa UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sudah berusia 47 tahun. Saat diundangkan pada tanggal 24 September 1960 ,Presiden Soekarno menetapkan hari kelahiran UUPA sebagai Hari Tani Nasional lewat Keppres No 169/1963. Dengan demikian, ketika kita merayakan hari kelahiran UUPA sesungguhnya juga kita sekaligus merayakan Hari Tani Nasional.

Harus diakui bahwasanya UUPA adalah salah satu produk Undang-Undang terbaik yang pernah diproduksi bangsa ini. UUPA dinilai sebagai produk hukum yang mengupayakan untuk memerdekakan dan menyejahterakan rakyat dan menghapuskan praktik-praktik eksploitatif pemerintah kolonial, baik kaum kapitalis asing maupun kaum feodal.

Secara legal, Reforma Agraria di Indonesia didasarkan pada UUPA,UU No.56 Prp/1960, dan UUPBH (UU No.2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil). Bila melihat UUPA, maka agraria yang dimaksud di Indonesia adalah lebih dari sekedar tanah saja, tetapi mencakup juga “Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya”. Ketika diadakan program reforma Agraria di Indonesia di tahun 1962-1965, maka yang dimaksud sebenarnya baru terbatas pada Land Reform, dan itupun baru menyangkut tahap awal, yaitu redistribusi tanah dan pembaruan dalam perjanjian bagi hasil.

Sebagai penjabaran UUPA saat itu diterbitkanlah UU No.56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang mengatur: (a) penetapan luas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, (b) penetapan luas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, (c) larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian-bagian yang kecil, dan (d) penebusan dan pengembalian tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Sebagai pelaksanaan UU ini diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.224 tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Empat prinsip utama yang terkandung dalam UUPA adalah:Pertama.Prinsip Nasionalitas, Prinsip ini berarti, seluruh wilayah Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, merupakan kesatuan tanah air dari bangsa Indonesia, kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadi hak dari bangsa, dan karenanya tidak semata-mata menjadi hak pemiliknya saja. Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya bersifat abadi (Pasal 1 ayat 3 UUPA), yang berarti, sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan wilayah Indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apa pun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Prinsip ini juga menentukan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak atas tanah atas dasar hak milik (Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat 1 UUPA), tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (Pasal 9 ayat 2 UUPA), sementara bagi warga negara asing dilarang (Pasal 26 ayat 6 UUPA).

Kedua,Prinsip Hak Menguasai dari Negara (HMN),Prinsip ini berarti bahwa azas domein yang menjadi dasar undang-undang kolonial dihapuskan, sehingga praktik-praktik negara yang memiliki tanah pada wilayahnya tidak diakui lagi. Azas domein pada masa kolonial mengandung pengertian sebagai hak milik mutlak negara kolonial Hindia Belanda, untuk itu maka pemerintah kolonial bisa menjual tanah-tanah Indonesia kepada siapa saja, bahkan kepada warga negara asing, yang pada masa lalu menimbulkan banyaknya tanah-tanah partikelir dan tuan-tuan tanah dengan hak yang sangat luas.

Azas domein telah dihapuskan, dan ditetapkan hak menguasai negara yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jo. Berbeda dengan azas domein, Hak Menguasai dari Negara (HMN) menempatkan negara tidak menjadi pemilik tanah melainkan sebagai organisasi tertinggi dari bangsa Indonesia. Adapun batas dari HMN adalah, bahwa HMN tidak boleh mengesampingkan hak-hak atas tanah yang telah dipunyai oleh warga negara Indonesia ataupun badan hukum-badan hukum.

Ketiga,Prinsip Tanah Mengandung Fungsi Sosial, Prinsip ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang tidak dibenarkan untuk dipergunakan semata-mata demi kepentingan pribadi, apalagi sampai merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaan, sifat, dan haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara. Karenanya, setiap tanah yang dikuasai dengan sesuatu hak mengandung fungsi sosial, yang berarti tidak dikuasai secara absolut dan mutlak, melainkan di dalam penggunaannya dibebani dengan kepentingan umum. Dengan kata lain, penggunaan tanah juga harus bermanfaat bagi kepentingan umum.

Keempat,Prinsip Land Reform,Prinsip ini adalah gambaran dari tujuan menciptakan suatu struktur pemilikan tanah yang baru. Prinsip Land Reform ini, adalah sebagaimana yang diutarakan dalam Pidato Menteri Agraria Mr. Sadjarwo dalam Sidang Pleno DPR-GR pada tanggal 12 September 1960, yaitu antara lain: (a) Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial; dan (b) Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan.

Prinsip land reform, dalam UUPA dinyatakan pada Pasal 13 jo.Pasal 17, tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki seorang petani, supaya dapat mencukupi secara layak bagi diri sendiri dan keluarganya, kemudian tercantum pula batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang dengan hak milik (Pasal 17 UUPA), yang bermaksud untuk mencegah penguasaan tanah luas pada tangan segelintir orang.

Pentingnya Melaksanakan UUPA

Sejak ditetapkan, UUPA No 5 Tahun 1960 merupakan hukum nasional yang baru yang ditujukan pada pencapaian tatanan agraria yang adil. Terutama pentingnya perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani miskin). Disisi lain UUPA adalah landasan hukum terpenting bagi pelaksanaan reforma agraria,oleh karenanya keberadaan UUPA dinilai cukup penting bagi perbaikan kehidupan petani Indonesia.

Meski upaya untuk melaksanakan UUPA 1960 dengan dijalankannya program Land Reform secara terbatas pada era Pemerintahan Soekarno, yaitu dari tahun 1962-1964, telah dilakukan. Namun, sejak lahirnya Orde Baru hingga saat ini, UUPA 1960 hanya ditempatkan sebagai produk hukum semata. Kebijakan pembangunan pertanian dan sektor agraria sepenuhnya hanya diorientasikan pada target pertumbuhan dan produktivitas semata.

Akibatnya ketimpangan struktur agraria dengan adanya monopoli atas sumber-sumber agraria semakin hebat. Jumlah pemegang konsensi dalam bentuk Hak Guna Usaha (HPU) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) ataupun konsensi untuk pertambangan semakin intensif dan masif. Secara aktual, proses pemberian konsensi tersebut telah banyak meminggirkan bahkan mengambil tanah-tanah rakyat baik tanah garapan (land grabbing) maupun terhadap areal pemukiman.

Situasi tersebut menjelaskan bahwa krisis agraria di Indonesia, meningkat semakin tajam, luas dan dalam, baik ditinjau dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Kemerosotan dan keterbelakangan kehidupan kaum tani Indonesia di semua aspek, baik aspek sosial-ekonomi, politik hingga budaya. Oleh karenanya, hanya dengan konsekuen mempertahankan sekaligus melaksanakan UUPA tahun 1960 dan menyelesaikan sejumlah sengketa agraria, kehidupan kaum tani dapat dimajukan dan ditingkatkan. Akhirnya Selamat Hari Tani!

Tidak ada komentar: