Senin, 03 Maret 2008

Lagi-Lagi Pelanggaran Konstitusi

Lagi-Lagi Pelanggaran Konstitusi

Oleh : Oki Hajiansyah (Mahasiswa Magister Hukum UNILA)

Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia dengan sebaik-baiknyadan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa. Itulah janji yang diucapkan oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih saat pelantikannya. 
 

Persoalannya hari ini apakah SBY-JK benar-benar setia pada konstitusi serta menjalankannya?. Konstitusi sebagai grundnorm dari suatu negara yang merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Thomas Paine mengatakan ”Constitutions is not the act of government, but the people constituing a government”. Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah seharusnya melaksanakan amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah rakyat sepenuhnya.

Indonesia adalah satu dari tiga negara selain Taiwan dan Brazil yang telah secara tegas mencatumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 secara tegas disebutkan bahwasanya negara dalam hal ini pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Jika kita tafsirkan pasal tersebut maka sesungguhnya pelaksanaan ketentuan 20 persen itu tidak boleh ditunda-tunda lagi. Pelaksanaan anggaran secara bertahap seperti yang dilakukan pemerintah hari ini jelas bertentangan dengan amanat konstitusi. Ironisnya pelanggaran dalam memenuhi kewajiban konstitusi terus berulang setiap tahunnya

 

Alokasi anggaran pendidikan yang dibuat pemerintah dan disahkan oleh legislatif selama ini dinilai belum cukup signifikan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional. Selama tiga dasawarsa ini tidak ada perubahan yang berarti mengenai anggaran pendidikan. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 12 persen yang tercantum dalam APBN 2008 jelas kembali bertentangan dengan UUD1945. Meskipun anggaran pendidikan 2008 naik 0,2% dari anggaran pendidikan tahun 2007 yang hanya sebesar 11,8 persen tetap saja ini bertentangan dengan aturan konstitusi.

 

Meskipun telah ada putusan MK yang menyatakan bahwasannya kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan kurang dari 20% dalam APBN dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Putusan MK juga menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945. Hebatnya dua kali putusan MK yang menyatakan bahwa pemerintah telah bertindak inkonstitusional tidak juga membuat jera pemerintah saat ini.

Ketidakpatuhan pemerintah pada komitmen 20 persen tersebut jelas menunjukkan pelanggaran terhadap konstitusi. Menaikkan alokasi anggaran pendidikan sekedarnya telah mencerminkan bahwa Pemerintah tidak cukup serius dalam melaksanakan amanat konstitusi dan harus dipandang tidak sesuai dengan moral konstitusi (morality of constitution) maupun semangat UUD 1945 (the spirit of constitution).

Uniknya meskipun seringkali melanggar konstitusi, dengan percaya diri pemerintah kembali menegaskan aturan tentang pengalokasian anggaran pendidikan pada aturan lainnya. Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disebutkan “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”.

Akan tetapi, semenjak UU Sisdiknas tersebut disahkan, realitas di lapangan justru berkata lain. Penyusunan dan pengalokasian anggaran pendidikan baik di tingkat Pusat maupun Daerah, ternyata tidak sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Hal ini tentunnya memberikan gambaran tentang semakin banyaknya pelanggaran aturan yang telah dilakukan pemerintah. Ironisnya pelanggaran aturan tersebut terus berulang.

Lemahnya Komitmen

Diyakini oleh berbagai kalangan, salah satu akar permasalahan ini terjadi dikarenakan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas yang utama. Hal ini bisa dilihat dalam data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia tahun 2004 dalam “Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Volume2.”
 
Laporan ini menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Jika dibandingkan dengan negara tetangga anggaran pendidikan kita juga amat rendah jika dibandingkan dengan  Singapura (27 persen), Malaysia (22 persen) dan Thailand (21 persen).

Disisi lain Lemahnya kesadaran hukum (lawlessness) para pejabat negara untuk mematuhi ketentuan konstitusi menyebabkan upaya tersebut menjadi tidak maksimal. Alasan yang dikemukakan oleh Komisi X DPR bahwa RAPBN yang datang dari pemerintah sejak semula tidak mempunyai goodwill tidaklah dapat diterima. Melepaskan tanggung jawab bukanlah solusi yang diinginkan rakyat. Sebab bagaimanapun juga anggaran adalah hasil kajian bersama antara Pemerintah dengan DPR secara institusional. Kewenangan legislative review yang dimilik oleh DPR seharusnya dapat difungsikan secara maksimal jika mereka memang benar-benar serius memperjuangkan aspirasi rakyat. DPR dapat membentuk Pansus Anggaran Pendidikan guna mengatasi berlarut-larutnya pelanggaran konstitusi secara berjamaah.

Jika komitmen pemerintah terhadap pengakan konstitusi, maka pada tahun-tahun mendatang niscaya akan terjadi kembali pelanggaran konstitusi secara berjamaah dan bisa dipastikan akan terjadi krisis konstitusi yang berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan terpelajar dan akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah yang saat ini berkuasa.

Upaya Rakyat

Berbagai upaya untuk mendesak pemenuhan kewajiban konstitusi (constitutional obligation) pemerintah untuk segera mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD tentunnya harus terus dilakukan. Pergulatan melalui jalur Judicial Review di Mahkamah Konsititusi sampai dengan saat ini memang belum memberikan hasil yang memuaskan dalam arti kata pemerintah masih terus melakukan pelanggaran konstitusi. Padahal Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations of Judicial Review” memaknai pengujian undang-undang sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap biasa oleh siapa pun.

Sebenarnya, upaya yang sama dapat pula dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Daerah di wilayahnya masing-masing yang dianggap bertentangan dengan UU Sisdiknas ke hadapan Mahkamah Agung MA). Jika kesadaran akan hak dan kewajiban konstitusional ini telah terbangun dalam sistem kehidupan berdemokrasi kita, niscaya seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah beserta masyarakat akan bersatu-padu guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi.

Akankah perkataan manis dari pemimpin kita yang mengatakan ”Saya takut jika melanggar Konstitusi” dan bahkan di dalam kesempatan sidang Inter-Parliamentary Union (IPO) juga berani menghimbau seluruh negara di dunia supaya memberikan keseriusan untuk menaikkan anggaran pendidikannya, diikuti pula dengan langkah yang nyata?

Tidak ada komentar: