Senin, 03 Maret 2008

Resensi Buku The Golkar Way


Judul : The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi

Penulis : Akbar Tandjung

Tebal : xxxviii+ hal 402

Penerbit : PT Gramedia Jakarta

Cetakan : I, November 2007

Licinnya Akbar dan Golkar

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Unila)

Buku The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi yang ditulis Oleh Akbar Tandjung awalnya adalah disertasi untuk meraih gelar Doktor Ilmu Politik di Universitas Gajah Mada. Buku ini menjadi menarik dan berbeda dibandingkan buku-buku lainnya tentang Golkar yang ditulis oleh para peneliti maupun kalangan akademisi. Menjadi menarik dan berbeda dikarenakan buku ini ditulis langsung oleh Akbar Tandjung yang notabene mantan Ketua Umum Partai Golkar dan telah 30 tahun malang-melintang di partai berlambang pohon beringin ini.

Buku ini menitikberatkan pada dinamika dan upaya survival Golkar ditengah serangan politik yang menerpannya. Seperti diketahui bersama Golkar bersama ABRI dan Birokarsi-dikenal dengan ABG- di masa lalu adalah penopang rezim orde baru yang otoriter. Golkar dituding sebagai biang keladi yang paling bertanggung jawab terhadap krisis yang menimpa negeri ini.Akbar sendiri mengakui dalam pidatonya di Munaslub Golkar tahun 1998 bahwa Golkar dimasa lalu terperosok menjadi mesin politik penguasa, alat pengumpul suara dalam Pemilu dan sekedar menjadi alat legitimasi penguasa yang otoriter (hal 98).

Dalam buku ini Akbar mencoba menjelaskan bahwasannya proses reformasi tyang ditandai dengan lengsernnya Soeharto sebagai simbol orde baru memberikan pengaruh yang cukup besar pada perkembangan Golkar sebagai the ruling party saat itu. Wajar ketika perubahan politik terjadi Golkar mendapat banyak serangan politik mulai dari tuntutan terhadap para tokoh-tokohnya atas dosa-dosa sejarah di masa lalu sampai pembubaran Golkar. Ditengah situasi sulit tersebut Golkar dibawah kepemimpinan Akbar Tandjung -politisi yang mendapat julukan “si licin” oleh News Week itu mampu bangkit dari berbagai serangan politik yang menerpannya.

Akbar jugalah yang memperkenalkan paradigma baru Golkar atau yang sering kita kenal dengan slogan ”Golkar Baru”. Transformasi Golkar menjadi Partai Golkar adalah terobosan politik yang dilakukannya untuk membangun citra baru Partai Golkar sebagai partai yang terbuka, moderat, mandiri, solid, mengakar, responsif dan demokratis. Inilah letak kelihaian strategi Akbar dan Golkar sebagai upaya survive di tengah situasi politik yang cukup kritis saat itu.Hal yang tidak bisa dibantah oleh siapapun adalah bagaimana kelihaian Akbar Tandjung sebagai seorang politisi ulung. Akbar tidak hanya mampu memimpin partai ini dari serangan pihak eksternal tapi juga mempertahankan kesolidan partai dari upaya penggembosan Golkar dari faksi dan tokoh-tokoh Golkar yang tidak puas dengan kebijakan partai yang baru.

Dibawah kepemimpinan Akbar Partai Golkar menjawab berbagai survey, riset dan ramalan dari berbagai pengamat dan lembaga yang menyatakan bahwa Golkar saat itu tengah mengalami masa surut menjelang kehancurannya. Dalam dua kali Pemilu Partai Golkar justru berhasil meraih suara yang cukup signifikan dengan bertahan di posisi kedua setelah PDIP pada Pemilu 1999 dengan raihan suara 23.741.749 (22,4%) dan meraih 120 kursi. Selanjutnya Golkar kembali bangkit dan menang pada Pemilu 2004 dengan raihan suara 24.461.104 (21,58%) dan meraih 128 kursi di DPR (hal 12).

Buku ini juga memaparkan bagaimana upaya seorang Akbar dalam membangun kembali citra Partai Golkar dan upayannya meletakan mekanisme demokratis di tubuh partai. Konvensi calon presiden yang diselenggarakan oleh Partai Golkar menjelang Pemilu tahun 2004 adalah peninggalan Akbar dalam upayannya membangun sistem kaderisasi yang demokratis di tubuh Partai Golkar.

Disertasi yang sebelum diterbitkan menjadi buku ini sempat memancing reaksi dari elit-elit Partai Golkar dengan istilah “Politik Saudagar” yang ditujukan terhadap beberapa tokoh yang memimpin Golkar saat ini. Istilah politik saudagar menurut Akbar adalah tipologi kepemimpinan yang berorientasi jangka pendek, mengedepankan spekulasi bisnis, serta cenderung tidak menghargai proses melainkan hasil. Corak kepemimpinan demikian cenderung mengabaikan pembangunan atau penguatan kelembagaan politik.


Dalam buku ini dijelaskan juga konteks dan peta kekuatan dan dukungan pada Munas VII Partai Golkar yang dianggap sebagai Munas paling panas dalam sejarah perjalanan Golkar. Dijelaskan bahwa pertarungan memperebutkan posisi Ketua Umum setidaknya melibatkan tiga kelompok besar, yaitu kelompok struktural, tradisional dan saudagar. Kelompok stuktural terdiri dari jajaran pengurus DPP Partai Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung, Kelompok Struktural terdiri dari atas beberapa Ormas pendiri Golkar, khususnya SOKSI dan Kosgoro yang memberikan dukungan kepada Wiranto. Sedangkan kelompok Saudagar, yang diwakili oleh Surya Paloh, kemudian berkoalisi mendukung Jusuf Kalla. Kelompok ini memiliki modal financial yang paling besar dalam menggalang dukungan. Selain Surya Paloh dan Jusuf Kalla, beberapa aktor penting pendukung koalisi ini adalah Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Muladi, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Ginanjar Kartasasmitha (hal 302-303).

Lewat buku ini sebenarnya Akbar juga berupaya memberikan saran kepada elit- elit Golkar agar tidak terjebak dalam kepentingan jangka pendek. Untuk itu, Akbar mengusulkan mind set politik dan paradigma yang jelas bagi Partai Golkar. Dalam buku ini Akbar banyak menuliskan tentang dirinya, gagasan perjuangan dan mimpi-mimpinya terhadap Golkar.

Buku ini mengutip Daniel S Paringga layak dijadikan referensi oleh para politisi tentang bagaimana ”resep jitu” dalam mengelola sebuah perubahan cepat ditengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Akhirnya Buku ini layak dibaca bagi siapapun yang menaruh minat untuk mempelajari proses transisi politik di negeri ini.

Tidak ada komentar: